REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puisi Sukmawati Soekarnoputri menuai kontroversi karena membandingkan cadar dengan konde, serta kidung yang lebih merdu dibandingkan azan. Menurut Prof. Dr. Sukron Kamil, Guru Besar Sastra Banding dan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menilai cara pandang Sukmawati yang membandingkan Islam dengan budaya nusantara seperti cara berpikir orang-orang zaman Orde Baru.
"Cara berpikir Sukmawati ini seperti cara berpikir orang-orang zaman orde baru. Karena sebenarnya Islam dengan nasionalisme, jangan dilihat sebagai sesuatu yang dihadap-hadapkan," ujar Sukron kepada Republika.co.id, Selasa (3/4).
Sukron memaparkan bahwa Islam dan kebudayaan nusantara sebenarnya masih berhubungan. Seperti kidung yang merupakan produk dari para Wali Songo, yang adalah hasil dialog antara keislaman dan keindonesiaan.
Di dalam azan sendiri, kata Sukron, ada kebudayaan Indonesia atau kidung nusantara, sama seperti membaca quran menggunakan langgam (nada) Jawa. Lantunan azan dapat terdengar berbeda sesuai dengan nada dan irama muazin.
Sukron melanjutkan, Republik Indonesia didirikan berdasarkan kebesaran hati umat Islam yang tidak mau mendirikan negara berbasis syariah agar masyarakat Indonesia Timur mau bergabung. Di dalam konteks ini, Sukron menilai puisi Sukmawati ditujukan untuk masyarakat wilayah Timur.
Dia menilai seharusnya nasionalisme dan Islam itu terutama secara kultural seperti wilayah azan mustinya tidak dihadap-hadapkan. Meskipun menurutnya cadar secara simbolik dan gagasan ada benarnya.
Karena secara umum pemahaman muslim di Indonesia yang boleh diperlihatkan hanya muka dan telapak tangan, tidak harus bercadar. "Tapi ini problematik membandingkan azan dengan kidung dan cadar juga terlalu ekstrim. Dia seharusnya menggabungkan kidung nusantara dengan seni musik budaya Islam," katanya.