REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Salah satu promotor Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto dokter Terawan Agus Putranto pada saat menempuh pendidikan doktoral di Universitas Hasanudin, Prof Irawan Yusuf, menilai dokter Terawan hanya melakukan pengobatan pada saat mendiagnosis pasiennya. Metode digital substracion angiography (DSA) yang digunakan dokter Irawan digunakan untuk terapi.
“Kontroversi yang timbul karena metode digital substracion angiography (DSA) yang selama ini dipakai untuk diagnostik. Akan tetapi, di tangan dr Terawan, metode ini digunakan untuk terapi,” kata Prof Irawan saat dikonfirmasi oleh Republika, Jumat (6/4).
Hal itu, kata dia, merupakan konsekuensi dari perkembangan ilmu kedokteran yang sangat cepat sehingga membuat batas-batas keilmuan menjadi kabur. “Tadinya hanya bisa dilakukan oleh ahli ini, sekarang bisa dilakukan oleh itu, sementara kita belum punya regulasi yang mengaturnya,” tuturnya.
Sebab, menurut dia, aturan perundang-undangan di Indonesia selalu tertinggal dari perkembangan teknologi dan masyarakat. Selain itu, adanya aturan profesi mengenai pembagian kompetensi di antara para ahli.
“Misalnya, ahli ini hanya boleh menangani pasien sampai titik tertentu. Misalnya, satu dokter mengetahui seberapa besar penyumbatan pembuluh darah yang terjadi. Apakah penyumbatan total atau penyumbatan sebagian. Selanjutnya, bila sudah diketahui maka diserahkan kepada ahli lain untuk mengobatinya,” kata dia.
Ia melanjutkan, yang dilakukan oleh dokter Terawan adalah setelah melakukan diagnosis, ia langsung memberikan terapi. “Langsung ia membuka sumbatan itu. Pasien kemudian memiliki perasaan subjektif yang lebih baik dan tanda objektif yang membaik, seperti gerakan otot yang lebih baik dan menganggap bahwa penyakitnya sembuh,” ujarnya.
Prof Irawan menyebut, banyak masyarakat yang merasa dan menganggap penyakitnya sembuh karena adanya perasaan subjektif yang lebih baik dan tanda objektif yang membaik, seperti gerakan otot yang lebih baik. Hal inilah, kata dia, yang menjadi bahan pembicaraan sehingga banyak pasien bertambah untuk berobat kepada dokter Terawan.
“Nah, orang-orang ini bukan orang biasa, banyak yang merupakan publik figur tokoh terkenal. Mereka inilah yang bicara ke mana-mana. Ini merupakan implikasi dari ketenaran,” kata dia.
Karena itu, ia menyimpulkan, yang terjadi kepada dokter Terawan itu adalah implikasi dari ketenaran. Ia pun membenarkan bahwa terdapat kode etik kedokteran yang tak boleh mempromosikan diri sendiri. Namun ia menyadari, batasan dari aturan ini sangat sulit untuk dibedakan.
Sebelumnya, dokter Terawan dinilai melakukan pelanggaran oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI dan diputuskan untuk diskors. Namun, sampai saat ini, keputusan itu masih belum dieksekusi sebab PB IDI memberikan ruang kepada dokter Terawan untuk melakukan pembelaan diri.