Selasa 10 Apr 2018 10:42 WIB

'Di Pedalaman, Kami Sulit Menjual Hasil Bumi'

Kemiskinan di Mentawai disebabkan oleh tidak meratanya pembangunan infrastruktur,

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Esthi Maharani
Rumah di Mentawai, Sumatra Barat
Foto: Sapto Andika / Republika
Rumah di Mentawai, Sumatra Barat

REPUBLIKA.CO.ID,  Tumpukan pinang kering di sudut rumah kayu milik Maryani Sirisurak (43 tahun) sudah tak tersentuh lebih dari dua bulan belakangan. Sekitar 7 kilo gram (kg) pinang dibiarkan begitu saja, hanya ditutup karung goni bekas. Sebetulnya ia ingin sekali menjual pinang kering ke pengepul di Pelabuhan Pokai, Kecamatan Siberut Utara, Kepulauan Mentawai. Tapi Sungai Terekan Hulu meluap dan biaya transportasi menuju pusat kecamatan melangit.

 

Tak cuma soal transportasi, harga pinang belakangan pun sedang jelek-jeleknya. Bila biasanya 1 kg pinang kering bisa ditukar dengan selembar uang Rp 10 ribu, kini upahnya tak sampai angka itu. Sekilo pinang kering yang dipanen warga hanya mendapat imbal Rp 7 ribu. Bila memaksa tetap menjualnya ke pelabuhan, bukan untung yang didapat. Justru tombok.

 

photo
Transportasi utama di Mentawai (Sapto Andika / Republika)

"Padahal niatnya kalau untung bisa untuk belanja bumbu masak. Garam, gula. Tapi kalau harganya jelek, saya mending tunggu sampai harga naik lagi," ujar Maryani di teras rumahnya.

Selain pinang, penghuni Dusun Gorottai yang hanya berjumlah 13 KK juga mengandalkan kopra dan kakao untuk menyambung hidup. Untuk urusan perut, kebutuhan soal makan sehari-hari sudah bisa dipenuhi dengan sagu dan beragam hasil bumi lainnya di hutan di atas bukit. Sebetulnya ada satu lagi komoditas pangan yang bisa dijadikan uang, yakni pisang. Kawasan tepian Sungai Terekan, dari hulu hingga hilir merupakan habitat yang sempurna bagi pohon pisang. Tapi sayang, nihilnya infrastruktur jalan yang memadai membuat warga kesulitan untuk membawa hasil panen pisang ke kota kecamatan di Sikabaluan.

"Ya terpaksa pisangnya dibiarkan begitu saja," ujar Maryani.

Maryani, seperti warga Mentawai pada umumnya, berharap banyak kepada pemerintah untuk membangun infrastuktur transportasi yang memadai. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sejatinya tak menutup mata soal minimnya akses jalan bagi warga di pedalaman.

 

Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mengungkapkan, kemiskinan di daerah yang ia pimpin disebabkan oleh tidak meratanya pembangunan infrastruktur, terutama jalan. Hal ini tercermin dari angka inflasi yang tinggi di Sumatra Barat, yang di atas 4 persen. Tingginya tingkat inflasi salah satunya disebabkan distribusi komoditas yang tersendat oleh sulitnya akses jalan, seperti kisah Maryani.

Yudas memandang bahwa sudah saatnya Pemprov Sumbar sejalan dengannya dalam menaruh fokus pembangunan di Mentawai. Dibanding sektor lainnya, Yudas menilai bahwa pembangunan jalan menjadi yang paling penting saat ini. Tersambungnya jalan yang menghubungkan desa dengan desa, hingga ibu kota kecamatan diyakini akan menggeliatkan ekonomi masyarakat.

"Kalau akses jalan bagus, ekonomi tumbuh, sumber daya di desa akan keluar. Kalau boleh saya katakan, yang lain jangan lah dulu, Fokus ke ini aja dulu, ke jalan," jelas Yudas.

Salah satu solusi yang sedang dikebut adalah pembangunan Trans-Mentawai, sebuah jalur yang menghubungkan desa-desa di pulau. Catatan terakhir tahun 2017, baru 95,23 km jalan Trans-Mentawai yang terbangun di Pulau Siberut dari targetnya 187,2 km. Sementara di Pulau Pagai Selatan, baru terbangun 5 km jalan Trans-Mentawai dari targetnya 66 km. Sementara kondisi di Pulau Sipora dan Pagai Utara masih lebih mending dengan progres pembangunan di atas 50 persen. Hingga akhir 2017, dibutuhkan Rp 2,8 triliun untuk merampungkan seluruh proyek.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement