REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pemprov Sumatra Barat berniat melakukan mediasi antara organisasi masyarakat (ormas) Islam dengan pihak kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Hal ini menyusul polemik kebijakan pembatasan cadar di lingkungan akademik yang belum berujung hingga kini.
Wakil Gubernur Sumatra Barat Nasrul Abit menyebutkan, pekan depan dirinya akan melakukan dialog dengan Rektorat IAIN Bukittinggi demi membahas tuntutan yang disampaikan ormas Islam. Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) Sumatra Barat, lanjut Nasrul, telah mendatanginya untuk meminta Pemprov Sumbar turun tangan menangani permasalahan ini.
Hanya saja, lanjut Nasrul, kewenangan untuk mengintervensi kebijakan kampus bukan berada di Pemprov Sumbar, melainkan Kementerian Agama. Artinya, Pemprov Sumbar tidak memiliki kewenangan untuk ikut terlibat dalam proses pembuatan kebijakan di IAIN Bukittinggi.
Meski begitu, Nasrul berjanji, untuk tetap berkoordinasi dengan pihak kampus agar nantinya tercapai musyawarah mufakat antara kampus dan ormas Islam yang menuntut pencabutan pembatasan cadar di lingkungan akademik. "Karena ini bukan kewenangan Pemprov, dan ini merupakan (kewenangan) Kemenag, saya akan ketemu dengan rektor (IAIN Bukittinggi). Kami akan bicarakan jangan sampai meluas," katanya.
Ketua Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) Sumbar Irfianda Abidin menyebutkan, pihaknya tetap akan berjuang agar Rektorat IAIN Bukittinggi mencabut kebijakan mengenai pembatasan penggunaan cadar di dalam kampus. GNPF Ulama Sumbar dan MTKAAM Sumbar memandang, kebijakan tersebut tidak memiliki alasan kuat secara akademik dan melanggar hak setiap individu untuk menjalankan keyakinannya.
"Kami coba mengonfirmasi secara langsung, tapi rektor dengan segala retorikanya terus bersikeras," katanya.
Sebelumnya, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Sumbar, Buya Busra Khatib Alam, menyatakan, pihaknya tetap istiqamah memperjuangkan Muslimah yang menjalankan keyakinannya. Ormas Islam, lanjut Buya Busra, menginginkan pertemuan dengan IAIN Bukittinggi dimediasi oleh pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkot Bukittinggi.
Dilibatkannya pemda diharapkan mampu mendorong musyawarah yang sehat dan membuat kampus melunak. "Nah ini yang kita tunggu niat baik pemerintah memfasilitasi pertemuan," kata Buya Busra.
Busra memandang, IAIN Bukittinggi harus menyadari bahwa banyak perguruan tinggi di Indonesia yang tidak mempermasalahkan penggunaan cadar di lingkungan akademik. Justru menurutnya, orang yang risih dengan pengenaan cadar adalah orang yang sinis terhadap ketaatan beragama.
"Secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan bahwa cadar mengakibatkan terganggunya proses belajar mengajar," katanya.
Dosen Hayati mengaku, dirinya tetap istiqamah untuk memperjuangkan haknya dalam menggunakan cadar. Meski begitu, dia sadar bahwa dirinya harus bisa menjaga sikap karena posisinya yang dilematis. Selain menjadi korban atas kebijakan kampus yang dianggap diskriminatif, Hayati juga masih berstatus sebagai ASN dengan segala kewajiban yang harus dijalankan. Ia mengaku, pekan lalu Ombudsman RI Perwakilan Sumbar kembali memanggilnya untuk meminta keterangan tambahan.