REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kajian sejarah, Ibnu Qutaybah menghasilkan satu karya terkenal dengan judul Kitab al-Maa'rif. Pada abad ke-19, seorang ilmuwan bernama F Wiinstenfeld mengedit buku tersebut dan memberi judul Buku Pegangan Sejarah pada buku yang ditulis Ibnu Qutaybah itu.
Laman Muslimheritage menyebutkan, buku ini merupakan salah satu buku paling tua mengenai sejarah Arab. Ini tak mengherankan sebab dalam bukunya itu, Ibnu Qutaybah menguraikan tentang sejarah Arab pra-Islam dan perkembangan mereka saat masa Islam.
Pada masa selanjutnya, Kitab al-Maarif ini menjadi rujukan banyak cendekiawan untuk mengetahui sejarah Arab. Dalam penulisan sejarah, Ibnu Qutaybah dikelompokkan ke dalam sejarawan Muslim awal, seperti Abu Hanifa ad-Dinawari yang juga meninggal dunia pada 889 Masehi.
Dinawari menuliskan buku sejarah yang dikenal dengan Kitab al-Akhbar at-Tiwal atau Book of Long Narrative. Seperti yang tergambarkan dalam judulnya, buku ini menguraikan sejumlah episode tertentu yang menarik minat penulisnya.
Seperti yang ditulis oleh Ibnu Qutaybah, Dinawari tak hanya mengisahkan soal sejarah Islam. Ia pun menjelaskan mengenai masa pra-Islam. Dalam bukunya, tercantum soal Alaksander Agung dan informasi yang perinci mengenai raja-raja Sasanid. Juga mengenai penaklukan Irak.
Karya lain Ibnu Qutaybah yang begitu menjadi perhatian adalah Uyun al-Akhbar atau Berita-berita Pilihan. Buku ini berisi mengenai pergulatan Ibnu Qutaybah terkait persoalan agama, aliran pemikiran, dan juga tentang tata bahasa.
Bahkan, buku ini ia memuat sejumlah naskah ceramah atau pidato. Pada masa itu, di Baghdad, ceramah menjadi salah satu hal penting dan kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang cendekiawan. Biasanya, ceramah banyak dikuasai pula oleh para ulama sebagai sarana dalam mendakwahkan Islam.
Pada abad ketujuh dan kedelapan, ceramah merupakan karya prosa yang indah dan dikenal dengan sebutan maqam. Para zahid atau kaum asketis biasanya menyampaikannya di hadapan para khalifah dan raja-raja. Materi-materi itu terangkum dalam buku Ibnu Qutaybah.
Melalui Uyun al-Akhbar pula diketahui sejumlah penulis ceramah generasi awal. Di antaranya adalah teolog pertama bernama Ghaylan ibn Muslim al-Dimasyqi yang meninggal pada 724 Masehi. Lalu, ada Hasan Bahsri dan muridnya yang bernama Amr ibn Ubayd yang meninggal pada 761 Masehi.
Ada pula seorang ahli fikih terkemuka dari Suriah bernama al-Awzai. Keberadaan buku ini juga mendapatkan sanjungan dari sejarawan ternama, Ibnu Khaldun. Ia mengatakan, ada sejumlah karya yang memuat prinsip dan pilar-pilar pemikiran budaya dan peradaban. Salah satunya adalah Uyun al-Akhbar.
Makdisi mengatakan, dalam Uyun al-Akhbar, Ibnu Qutaybah juga memuat konsep-konsep yang mencampurkan antara pemikiran religius dan duniawi. Dalam bagian pendahuluan disebutkan, meskipun tak secara khusus membicarakan tentang Alquran dan hadis, buku ini membahas persoalan penting.
Dalam buku ini, Ibnu Qutaybah menekankan pada pemeliharaan perilaku yang utama dan mulia. Yakni, Menghindari perilaku yang tak terpuji, moral yang hina, melarang mkejahatan dan menganjurkan perilaku baik, mengenalkan kerapian administrasi, dan menjaga lingkungan.
Bagi Ibnu Qutaybah, jalan menuju Tuhan tak hanya satu. Misalnya, hanya melalui pemahaman mengenai soal halal dan haram. Jalan menuju Tuhan, kata dia, sangat terbuka luas. Pandangan Ibnu Qutaybah ini dinilai terinspirasi dari pemikiran kaum rasionalis.
Ibnu Qutaybah mencoba melakukan pembelaan atas berkembangnya pemikiran rasional dalam kajian humaniora dan peradaban yang saat itu berkembang cukup pesat. Kondisi itu melahirkan pertentangan pemikiran dengan kelompok tradisionalis. Ia mencoba menjembataninya.
Ibnu Qutaybah merupakan seorang tradisionalis. Namun, melalui Uyun al-Akhbar, ia mencoba mengirimkan pesan kepada teman-teman tradisionalisnya agar tak bereaksi berlebihan terhadap kajian humaniora dan peradaban yang diwarnai pemikiran kaum rasionalis, Muktazilah.