REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Barat meminta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi mencabut teguran dan sanksi turunan yang diberikan kepada Hayati Syafri. Hayari merupakan dosen yang dikenai sanksi karena keputusannya dalam bercadar.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar Adel Wahidi menyebutkan, pihak kampus harus menjalankan tindakan korektif tersebut dalam 1-2 bulan mendatang. Selain tindakan berupa pencabutan teguran dan sanksi, Ombudsman juga meminta kampus memulihkan hak-hak fungsional sebagai dosen, termasuk melakukan aktivitas mengajar.
"Untuk pelaksanaan pemulihan hak fungsional dosen ini, kami biarkan mereka sesuaikan dengan jadwal kalender yang ada. Paling lambat semester depan Hayati sudah bisa kembali sebagai dosen," ujar Adel setelah menyerahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) terhadap Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida kepada perwakilan kampus, Senin (30/4).
Baca Juga: Hayati: Justru Saya Ingin Luruskan Citra Cadar yang Negatif.
Ombudsman menilai ada malaadministrasi dalam proses pemberian teguran dan sanksi berupa penonaktifan mengajar terhadap Hayati selama semester genap tahun ajaran 2017/2018 ini. Dalam LAHP, Ombudsman juga meminta IAIN Bukittinggi membuat perangkat aturan jelas mengenai standar tata cara berpakaian formal. Apalagi dalam kode etik yang selama ini selalu digaungkan kampus, tidak ada aturan tertulis mengenai cadar.
Menanggapi hal ini, pihak kampus menyatakan sudah mulai melakukan penyesuaian kode etik dan memasukkan poin sesuai dengan permintaan Ombudsman. "Ini baru LAHP, belum ada sanksi. Kalau pihak kampus tidak menjalankannya, baru kami terbitkan produk rekomendasi melalui pusat, termasuk sanksi," katanya.
Pihak kampus menerima hasil pemeriksaan yang diterbitkan Ombudsman. Kepala Biro Administrasi Umum, Akademik, dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menyebutkan, ia akan membawa LAHP kepada Rektor IAIN Bukittinggi untuk ditindaklanjuti. Selain itu, kampus juga akan berkoordinasi dengan Menteri Agama dalam menyikapi LAHP ini.
"Dalam waktu dekat akan kami bicarakan dengan Rektor, selain itu saya belum bisa memastikan apakah saksi tersebut akan dicabut atau tidak," ujarnya.
Pada Senin (30/4) ini, Ombudsman merilis LAHP yang isinya menyebutkan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang oleh Rektor IAIN Bukittinggi dalam menjatuhkan sanksi kepada Hayati. Adel menjelaskan bahwa penyimpangan prosedur terlihat saat Rektor IAIN Bukittinggi menyerahkan teguran tertulis pertama kepada Hayati pada awal Desember 2017 lalu.
Dari pemeriksaan diketahui ternyata teguran diberikan tanpa melalui pemeriksaan oleh Dewan Etik kampus. Bahkan saat teguran diberikan, Dewan Etik kampus belum terbentuk. "Dewan Etik sendiri baru terbentuk. Dewan etik baru terbentuk melalui surat keputusan rektor, 28 Desember 2017," kata Adel.
Baru setelah Dewan Etik dibentuk, lanjut Adel, Rektor IAIN Bukittinggi meminta secara lisan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap dosen Hayati. Adel memandang justru ada proses terbalik yang dijalankan kampus dalam menyusun sanksi terhadap Hayati.
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewan Etik, lanjutnya, tidak diterbitkan rekomendasi berupa sanksi apa pun kepada Hayati atas keputusannya untuk bercadar. "Nah, tapi dengan hasil itu, rektor malah menjatuhkan sanksi pembebastugasan bagi Hayati semester ini. Makanya kami anggap rektor melakukan penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam menjatuhkan sanksi," kata Adel menjelaskan.
Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida ternyata juga merangkap jabatan sebagai Ketua Senat kampus. Hal ini, menurut Ombudsman, bertentangan dengan statuta atau AD/ART perguruan tinggi. Pihak kampus berdalih rangkap jabatan yang ada sudah seizin Sekjen Kementerian Agama dan akan melakukan perbaikan struktur jabatan pada Maret 2019 mendatang.
"Beliau Rektor, beliau Senat, dalam beberapa kesempatan beliau juga ikut dalam rapat Dewan Etik. Padahal, beliau bukan anggota Dewan Etik. Itu letak penyalahgunaan wewenangnya," ujar Adel.