REPUBLIKA.CO.ID, BANGUI -- Seorang imam termasuk di antara sedikitnya 16 orang yang tewas pada Selasa (1/5) karena kekerasan sektarian baru menargetkan sebuah gereja, masjid dan fasilitas kesehatan di ibu kota Republik Afrika Tengah. Hal tersebut dilaporkan oleh kelompok bantuan, rumah sakit setempat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Medecins Sans Frontieres (MSF), yang melaporkan enam orang tewas, menyerukan agar tenang setelah beberapa penduduk Bangui mengancam rumah sakit SICA. Rumah sakit tersebut adalah tempat lebih dari 50 orang yang tertembak dan terluka sedang dirawat.
"Petugas medis memiliki kewajiban untuk memperlakukan orang-orang tanpa memandang latar belakang mereka, agama atau afiliasi politik," kata Anne-Marie Boyeldieu, kepala misi MSF di Republik Afrika Tengah.
Kemarahan telah memuncak di ibu kota sejak misi penjaga perdamaian AS dan pasukan keamanan lokal melancarkan operasi gabungan di lingkungan Muslim di sekitar PK5 pada awal April. Operasi tersebut dikatakan untuk menangkap anggota kelompok kriminal bersenjata setelah para pemimpin mereka menolak untuk melucuti senjatanya.
Mayat dari 17 warga sipil itu diletakkan di depan kantor penjaga perdamaian Inggris tidak lama setelah itu.Kekerasan pada Selasa itu, kata MSF, meletus di lingkungan PK5 dan Fatima.
Penduduk juga membawa jasad imam dan beberapa orang lainnya yang terbunuh ke Istana Presiden Renaissance. Anggota Pengawal Presiden membubarkan kerumunan dengan melepaskan tembakan ke udara.
Setidaknya 10 mayat dibawa ke rumah jenazah di rumah sakit komunitas pada Selasa. Hal itu dikonfirmasi kepala rumah sakit yang berbicara dengan syarat anonim karena dia tidak diizinkan untuk berbicara kepada pers.
Di distrik Lakwanga, sekelompok anak muda menggeledah sebuah masjid yang baru saja direhabilitasi sebagai bagian dari proyek kohesi sosial. Gerakan Katolik Saint Joseph, sebuah kelompok aksi, menegaskan bahwa ada 10 orang mati selain enam orang yang dilaporkan oleh MSF.
Koordinator kemanusiaan PBB untuk Republik Afrika Tengah, Najat Rochdi, mengatakan orang-orang yang terbunuh termasuk Abbot Albert Tougoumale-Baba, seorang pembela ulung dari perjanjian non-agresi yang memungkinkan umat Islam untuk mengadakan upacara pemakaman sesuai dengan agama mereka.
Gereja Tougoumale-Baba di Fatima diserang, kata Rochdi, bersama dengan tempat ibadah lainnya, termasuk masjid."Sekali lagi adalah penduduk sipil, terutama perempuan dan anak-anak, yang membayar harga kekerasan," kata Rochdi, menyerukan kepada perempuan untuk meningkatkan suara mereka terhadap perekrutan pemuda sebagai pejuang.
Chargd'affairesdi Kedutaan Besar AS di Bangui, David Brownstein,mengutuk pembunuhan itu sebagai tindakan pengecut dan kekerasan. Dia menyerukan kepada warga untuk tenang dan menghentikan serangan balas dendam, yang katanya hanya akan mengabadikan siklus kekerasan.
Wali Kota Bangui Emile Gros Raymond Nakombo mengimbau masyarakat untuk mengakui kekerasan tersebut adalah pekerjaan mereka yang tidak ingin perdamaian kembali ke negara itu.
Republik Afrika Tengah yang sangat miskin telah menghadapi pertempuran antaragama dan antar-komunitas yang mematikan sejak 2013, ketika sebagian besar pejuang Seleka Muslim merebut kekuasaan di Bangui. Sebagian besar milisi anti-Balaka Kristen melawan, menyebabkan ribuan orang terbunuh dan ratusan ribu mengungsi.
Periode perdamaian relatif terjadi pada akhir 2015 dan 2016, tetapi kekerasan telah meningkat dan menyebar pada tahun lalu.