Kamis 03 May 2018 17:34 WIB

BPR-BPRS Dorong Pertumbuhan Sektor Keuangan di Jatim

Fungsi intermediasi BPR dan BPRS di Jatim cukup baik.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yusuf Assidiq
Kegiatan Evaluasi Kinerja BPR dan BPRS Triwulan I tahun 2018.
Foto: Dadang Kurnia.
Kegiatan Evaluasi Kinerja BPR dan BPRS Triwulan I tahun 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, PASURUAN -- Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 4 Jawa Timur, Heru Cahyono, menyampaikan  pada triwulan I tahun 2018, sektor keuangan di Jawa Timur mencatatkan kinerja yang positif. Itu tercermin dari peningkatan volume usaha perbankan yang mencapai sebesar sembilan persen (yoy).

Kinerja positif perbankan di Jawa Timur tersebut menurutnya tidak terlepas dari peran serta industri BPR dan BPRS yang pertumbuhan aset, DPK, dan kreditnya masing-masing mencapai 8,59 persen, 11,37 persen dan 4,96 persen (yoy). "Fungsi intermediasi BPR dan BPRS di Jawa Timur cukup baik dengan rasio L/FDR masing-masing 75,13 persen dan 114,2 persen," ujar Heru, pada Evaluasi Kinerja BPR dan BPRS Triwulan I tahun 2018 di Convention Hall Hotel Senyiur, Prigen, Pasuruan, Kamis (3/5).

Pertemuan tersebut dihadiri oleh Direksi dan Komisaris dari 116 BPR dan 13 BPRS di bawah pengawasan Kantor Regional 4 Jawa Timur. Lebih lanjut Heru berpendapat, risiko kredit BPR dan BPRS tergolong cukup tinggi. Itu tercermin pada rasio NPL/F masing-masing 7,58 persen dan 9,24 persen. Namun demikian, rasio kecukupan modal BPR dan BPRS masih tergolong memadai untuk menyerap dampak risiko tersebut dengan CAR masing-masing sebesar 33,86 persen dan 31,61 persen.

Heru menyatakan, OJK berharap, pengurus BPR dan BPRS di Jawa Timur memperhatikan potensi peningkatan jumlah kredit atau pembiayaan bermasalah dengan senantiasa memantau secara ketat perkembangan kualitas kredit yang disalurkan. Khusus untuk BPR dan BPRS yang rasio NPL/F nya telah mencapai lebih dari 5 persen, OJK mewajibkan untuk menyusun langkah-langkah penyelesaiannya yang komprehensif dan realistis dalam sebuah rencana tindak (action plan).

Menurutnya, hal tersebut sangat penting karena peningkatan jumlah kredit bermasalah dapat secara langsung berdampak pada rentabilitas BPR dan BPRS. Pada akhirnya akan berdampak juga terhadap penurunan aspek permodalan apabila tidak diikuti dengan peningkatan modal disetor oleh pemegang saham.

Oleh karena itu, komitmen pemegang saham untuk mendukung kecukupan modal dan pengembangan bisnis BPR dan BPRS sangat penting bagi keberlangsungan usahanya. Terutama dalam memenuhi ketentuan rasio CAR>12 persen, serta pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp 3 miliar maupun Rp 6 miliar paling lambat pada 31 Desember 2019 untuk BPR dan 31 Desember 2020 untuk BPRS.

Heru Cahyono juga menjelaskan, faktor integritas dan kompetensi pengurus yang tercermin dalam pelaksanaan GCG sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan dan/atau kegagalan manajemen BPR dan BPRS. Kegagalan manajemen tersebut dapat menyebabkan BPR dan BPRS berada dalam status Pengawasan Intensif (BDPI), meningkat menjadi dalam Pengawasan Khusus (BDPK), sampai akhirnya dilakukan pencabutan izin usaha (CIU).

Merespons hal tersebut, OJK telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi BPR, dan POJK Nomor 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi BPR. Kemudian ada juga Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 6/SEOJK.03/2016 tentang Penerapan Fungsi Kepatuhan Bagi BPR, serta SEOJK Nomor 7/SEOJK.03/2016 tentang Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bagi BPR.

"Dengan adanya POJK dan SEOJK tersebut BPR wajib menerapkan GCG secara efektif serta meningkatkan pelaksanaan Fungsi Kepatuhan, Fungsi Audit Intern, dan Fungsi Manajemen Risiko yang merupakan tiga lini pertahanan (three line of defense) dalam proses pengendalian internal bank," ujar Heru.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement