REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah dan DPR tak terburu-buru dalam mengesahkan revisi Undang-Undang Terorisme. ICJR juga meminta agar proses pembahasan revisi UU Terorisme dilakukan dengan cermat dan hati-hati.
"ICJR meminta pemerintah dan DPR untuk cermat agar upaya pembentukan hukum untuk penanganan terorisme tidak mencederai kebebasan-kebebasan sipil," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, dalam siaran pers yang diterima Republika, Ahad (20/5).
Namun, dia mengatakan, ICJR juga turut memberikan apresiasi terhadap upaya pembahasan RUU Perubahan UU Terorisme antara pemerintah dan DPR yang akan dimulai kembali. Dalam catatan ICJR, masih banyak persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dalam RUU Perubahan UU Terorisme tersebut.
Anggara mengatakan, terhadap proses pembahasan revisi UU Terorisme, ICJR memberikan catatan dan rekomendasi ICJR terhadap RUU tersebut ke DPR dan pemerintah.
"Dalam catatan ICJR masih ada beberapa persoalan yang perlu diperhatikan," kata dia.
Hal-hal yang menurut dia masih perlu diperhatikan, antara lain, mengenai definisi, korporasi, dan penyadapan. Selain itu, mengenai pidana mati dan korban terorisme juga turut menjadi catatan terhadap pemerintah.
ICJR, lanjut dia, juga meminta agar proses pembahasan RUU Perubahan UU Terorisme juga memperhatikan prinsip transparansi. Tak hanya itu, sisi akuntabilitas juga perlu diperhatikan untuk dapat memastikan adanya partisipasi masyarakat.
"Akuntabilitas juga perlu diperhatikan agar memastikan partisipasi terhadap hasil-hasil pembahasan antara pemerintah dan DPR," tuturnya.
Pembahasan revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Perubahan UU Terorisme) menurut pemerintah dan DPR telah memasuki tahap final. Pada pekan ini, Pansus RUU Terorisme akan kembali membahas beleid ini.