REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Perokok di Kota Bandung dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan terutama di pada usia muda. Tingginya jumlah perokok berusia muda di Kota Bandung salah satunya terjadi karena semakin mudahnya akses anak muda yang ingin merokok.
"Bahkan berdasarkan survei yang kami lakukan dari 10 besar penyakit di Kota Bandung, sebanyak 8 penyakit tak menular itu terkait dengan rokok," ujar Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung Nina Manarosana, saat menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dalam gelaran KABAR Roadshow, di Kampus Fakultas Kedokteran Gigi Unpad, Rabu petang (23/5).
Nina mengatakan, dampak rokok ini sangat mengkhawatirkan. Karena penyakit akibat rokok ini bisa menyebabkan kematian. Misalnya, rokok mengakibatkan penyakit jantung.
"Dampak rokok ini sangat mengkhawatirkan, dulu 8 tahun yang lalu penyakit akibat rokok itu paling 2 - 3 dari 10 penyakit (menonjol) di Kota Bandung yang menyebabkan kematian. Tiba-tiba tahun kemarin melonjak 8 dari10 penyakit terbanyak di kota Bandung," paparnya.
Bahakan, berdasarkan hasil survey data 2017 yang didapatkannya dari responden, sebanyak 37 persen perokok itu perokok aktif. Dampak lainnya, tokok tembakau atau konvensional ini bisa menyebabkan stunting (gangguan pertumbuhan) pada anak. Meskipun secara medis pihaknya belum melakukan penelitian lebih lanjut, namun korelasi yang kuat ditemukan antara anak yang stunting dengan lingkungan perokok.
Nina mencontohkan, seperti ibu yang melahirkan dengan berat badan rendah dengan suaminya yang perokok, atau ibunya yang perokok atau orang di sekitarnya perokok. "Itu kaitannya mengapa, perlu penelitian lebih lanjut lagi tapi yang jelas para anak-anak stunting biasanya dikelilingi orang merokok," katanya.
Penelitian public health, kata dia, sudah menghubungkan korelasi yang kuat antara kenapa stunting dengan lingkunga merokok. "Namun, kenapa dia bisa stunting itu medis, jadi perlu penelitian lebih lanjut," katanya.
Di tempat yang sama, Peneliti Yayasan Pemerhati Publik (YPKP) Indonesia dan Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (Kabar) Dr drg Amaliya mengatakan, dalam penelitiannya yang dilakukan selama periode Maret -Mei tahun 2017 ini ditujukan untuk mengetahui perubahan sel yang diperiksa dari cuplikan sel yang melapisi permukaan pipi bagian dalam pada rongga mulut yang diambil dari ketiga kelompok sampel utama. Hasilnya, didapatkan bahwa perokok memiliki jumlah inti sel kecil (micronuclei) dalam kategori tinggi yakni sebanyak 147,1.
"Namun dari penelitian sel, perokok tembakau memperlihatkan ketidakstabilan sel. Ketidakstabilan sel itu sebagai indikator terjadinya kanker di rongga mulut," katanya.
Karena, pada saat sel membelah diri tidak dapat mengeluarkan inti kecil atau zat dalam sel itu sendiri. Sehingga meninggalkan titik kecil seperti inti. "Nah itu salah satu ciri bahwa sel tersebut berperilaku tidak normal atau tidak stabil, dari situ menjadi indikasi rongga mulut atau kanker apapun karena sel sudah tidak terkontrol, replikasi atau belahan selnya tidak dapat dikontrol oleh tubuhnya," katanya.
Sedangkan pengguna rokok elektrik dan non perokok, kata dia, masuk dalam kategori normal, yakni berkisar pada angka 70-80. Hasil ini memperlihatkan bahwa jumlah inti sel kecil pengguna rokok elektrik cenderung sama dengan non perokok, dan dua kali lebih rendah dari perokok aktif.
"Jadi kalau dilihat dari prinsip harm reduction (mengurangi bahaya) perokok elektrik sudah memenuhi persyaratan mengurangi bahaya tetapi bukan berarti nol, bukan berarti tidak ada bahaya sama sekali, tetapi tetap ada," katanya.
Ketua Asosiasi Vapers Indonesia (AVI) wilayah Jawa Barat Didong Wanorogo mengatakan, Bandung menjadi kota kedua yang didatangi oleh Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dalam gelaran KABAR Roadshow, kegiatan edukasi yang ditujukan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat rokok melalui produk tembakau alternatif. Di Bandung, KABAR bekerja sama dengan Academic Leadership Grant (ALG) Universitas Padjadjaran untuk berdiskusi bersama guna mencari solusi dalam mengatasi prevalensi rokok di Indonesia.
Didong mengatakan, produk tembakau alternatif dapat menjadi salah satu langkah untuk secara perlahan mengurangi kebiasaan merokok yang pada akhirnya dapat membantu menekan jumlah perokok. Bagi perokok aktif, merokok itu sudah seperti menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Untuk beberapa orang mungkin bisa berhenti dengan terapi, konseling, mengganti dengan permen karet atau sebagainya. Tetapi metode ini belum tentu berhasil bagi perokok lainnya.
"Produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik atau produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar bisa menjadi salah satu pilihan bagi mereka yang berkeinginan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat merokok,” kata Didong.
Berbagai upaya yang dilakukan, kata dia, akhirnya bermuara pada satu hal, yakni menurunkan jumlah angka prevalensi rokok di Indonesia. Ini pula yang menjadi salah satu misi KABAR dalam melakukan gelaran roadshow ke lima kota besar di Indonesia.
Sejak diluncurkan pada pertengahan tahun lalu, KABAR yang beranggotakan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, Asosiasi Vapers Indonesia (AVI), Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI), Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) ini gencar menggalakkan kesadaran masyarakat dengan menyediakan beragam informasi yang berbasiskan pada penelitian ilmiah dan teknologi, salah satunya melalui situs no-tar.org.