REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Usai disahkannya Revisi Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Perppu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, DPR kini menanti langkah pemerintah untuk segera melakukan konsultasi terkait Perpres pelibatan TNI tersebut. Namun Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut bahwa pengeluaran Perpres dinilai tidak perlu persetujuan DPR.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi I Satya Widya Yudha pun tak mempermasalahkan hal tersebut, lantaran undang-undang yang baru disahkan Jumat (25/5) kemarin belum ada Peraturan Pemerintah (PP)-nya. "Baik Undang-undang TNI ataupun Undang-undang Antiterorisme belum ada PP-nya, sehingga perlu dikeluarkan Perpres untuk mewadahi keputusan-keputusan politik yang diperlukan agar TNI bisa diperbantukan," kata Satya dalam keterangan rilis yang diterima Republika.
Ia menambahkan, karena sifat Perpres tersebut yang dinilai istimewa, maka pemerintah kemarin menyanggupi untuk mengonsultasikan dengan DPR. "Itu nggak apa-apa, secara hirarki hukum, Perpres dan PP itu adalah domain pemerintah," katanya.
Selain itu, untuk anggarannya, Satya menerangkan Koopssusgab akan ikut masuk ke anggaran TNI. Oleh karena itu, menurut Satya, salah satu fungsi keluarnya Perpres dan PP adalah untuk dapat menakar anggaran dari Koopssusgab milik TNI. "Makanya kita minta supaya muncul Perpres dan PP itu agar supaya muncul mata anggarannya," ujarnya.
Sebelumnya, Yasonna mengatakan Perpres tersebut nantinya akan mengatur bagaimana proses keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Ia juga mengatakan penyusunan Perpres juga tidak harus mendapat persetujuan DPR.
Selain itu Perpres tersebut juga bisa dikonsultasikan secara formal kepada DPR namun bisa saja dilakukan secara informal. "Pembuatan (Perpres) itu kan harus presiden, dan presiden tidak perlu persetujuan DPR. Tetapi kalau secara etik nanti kita berdiskusi dengan seluruh stakeholder ya nggak apa-apa," ujar dia.