Ahad 27 May 2018 22:02 WIB

Pengamat: Dakwaan Syafruddin Temenggung Harus Batal

Audit BPK 2017 menyalahi standar pemeriksaan yang diatur oleh BPK sendiri.

Rep: Febrian Fachri/ Red: EH Ismail
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (batik kuning) menjalani sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/5).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (batik kuning) menjalani sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Padjadjaran I Gde Pantja Astawa menilai dakwaan jaksa KPK terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung harus batal demi hukum.

Kondisi itu harus terjadi jika dalam pembuktiannya nanti majelis hakim Tipikor menemukan adanya penyimpangan dalam audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017 yang dijadikan alat bukti.

Menurut Pantja, audit investigatif BPK 25 Agustus 2017 bisa batal demi hukum kalau tidak menaati azas asersi, yakni harus ada konfirmasi dari pihak yang diperiksa atau auditee-nya. Proses audit tersebut juga dinilai melanggar norma hukum kalau didasarkan pada bukti-bukti sekunder.

“Dari hukum administrasi, azas asersi mutlak harus dipenuhi. Kalau tidak ditempuh konfirmasinya kepada auditeenya, maka laporan audit itu batal demi hukum. Apa yang di-publish bisa batal demi hukum karena tidak mengindahkan norma hukum yang ada. Maka, kalau Audit BPK 2017 ini terbukti menyimpang dari peraturan yang ada, harus batal demi hukum dan terdakwa harus dibebaskan,” kata Pantja melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (27/5).

Syafruddin Arsyad Temenggung dalam nota penolakannya terhadap surat dakwaan jaksa penuntut KPK pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Senin (21/5) lalu, mempersoalkan adanya audit investigatif BPK 25 Agustus 2017 yang menyatakan ada kerugian negara. Hal itu bertolak belakang dengan audit BPK sebelumnya, 30 November 2006, yang menyimpulkan tidak ada kerugian negara.

Pantja menilai, audit BPK 2017 menyalahi standar pemeriksaan yang diatur oleh BPK, yakni Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Pada butir 14 peraturan itu dinyatakan, suatu laporan audit harus memiliki auditee/pihak yang bertanggung jawab dan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa (auditee).

“Laporan Audit BPK 2017 ini tidak ada satu pun auditee-nya,” kata dia.

Selain itu, dalam audit BPK 2017 disebutkan tentang batasan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara. Artinya, pemeriksaan sebatas mengungkap dan menghitung kerugian keuangan negara yang timbul akibat adanya penyimpangan oleh pihak terkait dalam proses penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI pada 2004, berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK sampai dengan tanggal 25 Agustus 2017.

Syafruddin Temenggung pun mempertanyakan independensi, objektivitas dan profesionalisme pemeriksaan BPK mengingat bukti-bukti yang disodorkan penyidik KPK yang bersifat sepihak. Padahal, berdasarkan Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksaan harus dilakukan secara independen, objektif, dan profesional.

Pantja sependapat terkait eksepsi Syafruddin yang menyoroti laporan audit BPK 2017 yang mendasarkan pada data data sekunder, yakni sebatas yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK,

“Apa pun datanya, primer atau sekunder, itu tetap harus dikonfirmasi kepada pihak auditeenya. Pihak yang diperiksa diberikan kesempatan untuk menanggapi. Tidak bisa ujug-ujug (tiba-tiba). Harus taat pada azas asersi, artinya dikonfirmasi dulu kepada auditee, yakni pihak yang diperiksa. Temuan kerugian itu ada atau tidak ada harus melalui konfirmasi kepada audite,” tegas Pantja.

KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada April 2017. Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI. Berdasarkan audit investigatif BPK, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp 4,58 triliun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement