REPUBLIKA.CO.ID, "Tong magrib udahan, buruan balik, entar dibawa kolongwewe luh."
"Dikata jangan ngedeprok bae depan pintu, pamali."
Ungkapan-ungkapan di atas kerap didengungkan seorang enyak (ibu) kepada sang anak di masyarakat Betawi. Pun di daerah Ciputat Timur, yang secara administrasi ke wilayahan masuk dalam Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, namun secara kultural ialah komunitas Betawi. Kerap juga disebut Betawi pinggiran atau Betawi Ora, sebagaimana komunitas Betawi lainnya yang ada di pinggiran Ibu Kota.
Kehidupan masyarakat Betawi memang lekat dengan adat istiadat dan kebiasaan yang sangat kental, meski dalam perkembangan zaman terus terkikis di tengah gempuran modernitas.
Kekayaan masyarakat Betawi yang menarik diikuti ialah pada aspek tradisi lisan, budaya lisan, dan adat lisan yang merupakan pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian dalam tradisi lisan Betawi dikemas dalam berbagai hal, melalui medium ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berupa pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau lagu.
Sejarawan kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra mengatakan, semua kebudayaan di tanah Betawi atau di mana pun diawali dari pemikiran yang dinyatakan di dalam ekspresi.
"Ekspresi itu bisa keluar, bisa dalam bentuk artefak atau berbentuk, maupun tidak berbentuk. Semua itu masuk dalam konsep tradisi lisan," kata Yahya saat berbincang dengan Republika.co.id. beberapa bulan lalu.
Memang, kata Yahya, pada akhirnya pemahaman orang sekarang, tradisi lisan itu hanya tradisi nonaksara. Prinsipnya dalam konsep tradisi lisan, semua hal ihwal terkait di dalam masyakarat nonaksara.
Di Komunitas Betawi, lanjut dia, hampir semua kehidupan masyaraatnya yang terkait dawuh hidupnya mulai dari dia lahir sampai mati, tahapannya, apakah sistem kekerabatannya, kulinernya, peranata sosial, itu bentuknya tradisi lisan. Bahkan, hingga pada aspek pengobatan, di mana orang-orang terdahulu menggunakan 'bacaan-bacaan' dengan alat atau sarana yang ada seperti daun sirih.
Pun dengan aspek lainnya seperti dalam makanan dan minuman tradisional bagi masyarakat Betawi, masak-memasak. Kata Yahya, Nasi Uduk, Gado-gado, Selendang Mayang, Bir Pletok, Kembang Goyang, atay Dodol, secara artefak, dia (makanan dan minuman tradisional) ada. Kesemuanya bisa juga masuk dalam tradisi lisan dari sisi idenya.
"Yang termasuk tradisi lisan itu idenya sudah ada. Ide ngeja/ (membuat) Kembang Goyang atau Dodol. Dodol punya kebijaksanaan, ada gotong-royong kebersamaan, kue itu sangat khusus misal untuk lebaran atau ngawinin," lanjutnya.
Ada juga Kue Unti yang memiliki filosofi tersendiri, di mana bahan bakunya terdiri atas beras, parutan kelapa, gula jawa, yang kemudian dibungkus menggunakan daun pisang batu.
Dari sini kita bisa melihat cara manusia Betawi memelihara tanah karena beras ditanam di tanah, dan memelihara pohon kelapa dan pohon pisang.
"Idenya kita harus akrab dengan lingkungan kita, lindungi, dan jaga," ungkap Yahya.
Seni pertunjukan juga sama, entah itu Lenong, Tanjidor, hingga Ondel-ondel sekali pun masuk dalam kriteria dalam tradisi lisan dengan medium perkataan sampai lirik yang memuat pesan dalam setiap lagu bagi masyarakat Betawi.
Yahya menyebutkan, tradisi lisan yang dituturkan masyarakat Betawi melalui tradisi berkisah dan bercerita sejatinya sudah berlangsung lama. Salah satu yang sempat berjaya ialah Sahibul Hikayat. Dalam Sahibul Hikayat kental nuansa Islami karena memuat cerita, humor, dan dakwah Islam sebagai ciri utama. Sebelum memulai kisahnya tukang cerita dan penonton akan membacakan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Islam dan Betawi seakan sudah menjadi satu kesatuan yang sukar dipisahkan. Unsur-unsur Islam mengisi setiap ruang budaya dan kebiasaan orang Betawi.
"Seni tutur (Sahibul Hikayat) ini mengambil latar cerita dari Timur Tengah dari 1920-an memang sudah terkenal dalam tradisi warga Betawi," kisahnya.
Yahya melanjutkan, dalam budaya populer, tradisi lisan Betawi juga kerap muncul dengan gaya berbeda, seperti yang dilakukan para Komika --sebutan untuk Stand Up Comedy-- atau komedi tunggal yang sedang naik daun dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.
Ada sejumlah komika-komika Betawi yang bermunculan dengan membawakan cerita tentang masyarakat Betawi yang dikenal humoris, dan apa adanya.
Yahya menyebut nama David Nurbianto. Komika Betawi yang lahir dan besar di Rengas, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, itu bisa disebut pionir bagi dunia Stand Up Comedy yang konsisten membawakan materi tentang kehidupan masyarakat Betawi. David banyak mengulas keresahan sebagai orang Betawi yang 'terpinggirkan', namun dengan gaya yang cukup mengena.
Dalam penyampaian materinya, David 'melibatkan' sosok sang Nyai atau neneknya. Pesan-pesan si Nyai yang syarat akan tradisi Betawi ia tuangkan dalam sebuah materi yang membuat membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Selain itu, materi akan seni, tradisi, hingga kuliner Betawi ia lemparkan ke khalayak ramai lengkap dengan asal muasal yang mengiringinya.
Bagi Yahya, David mengadopsi kemampuan bercerita orang Betawi. Sebagai anak Betawi, David tampil membawakan kisah-kisah segar tentang kehidupan masyarakat Betawi yang mungkin belum diketahui banyak orang, bahkan bagi masyarakat Jakarta sekali pun.
Tak sekadar mengadopsi, David juga mengadopsi tradisi lisan yang tradisional diangkat dalam bentuk modern seperti Stand Up Comedy.
Stand Up Comedy, kata Yahya, tentu memiliki pakem tersendiri. Sama halnya dengan Sahibul Hikayat yang memiliki pola: ada pesan yang disampaikan, ada penutup.
"Kalau David kan muncul-muncul langsung gua, elu, gua, elu, yang penting lucu, itu kagak jadi soal karena pakem Stand Up (Comedy) ya begitu," ungkap Yahya.
David sendiri seolah tidak mengalami kesulitan beradaptasi dengan seni Stand Up Comedy karena berkah orang Betawi yang terlahir lucu, mudah bergaul, dan apa adanya. Kayanya nilai budaya dan keresahan yang ia rasakan membantunya membuat materi Stand Up Comedy seputar itu.
David mengaku, materi-materi Stand Up Comedy yang ia bawakan diambil dari pengalaman sebagai anak muda Betawi yang juga banyak dirasakan orang lain karena kesamaan lingkungan dan latar belakang pendidikan kebanyakan orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya.
"Keresahan tentang sulitnya anak Betawi bersaing mencari pekerjaan di kampungnya sendiri, tentang budaya yang terlupakan, tentang masyarakat yang terpinggirkan, dan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yamg kurang berpihak pada masyarakat kecil," kata David melalui aplikasi pesan instan WhatsApp kepada Republika.co.id, Ahad (3/6).
Selain sebagai kritik sosial, pria berusia 29 tahun itu menjadikan Stand Up Comedy sebagai medium curhat (curahan hati) dan mawas diri. Kondisi ini yang memaksa i terus membaca dan belajar literatur Betawi yang ada lewat buku-buku sejarah agar terus mendapat bahan dan ide baru dalam materinya.
David berharap hal ini bisa menular bagi anak-anak muda Betawi lain, di mana mereka belajar dan melestarikan budaya melalui cara "kekinian" atau hal yang mereka sukai dan mudah juga disukai oleh masyarakat agar semangat melestarikan budaya meluas.
Yahya dan David seolah paham, identitas budaya harus tetap dilestarikan, tak perduli betapa kerasnya himpitan perkembangan zaman. Keberlangsungan tradisi tak akan cukup mengandalkan satu-dua sosok tanpa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah.
Kepada generasi muda Betawi jangan terburu-buru memvonis babeh, enyak, encang, encing, engkong, dan nenek, sebagai pribadi yang bawel lantaran satu-dua celetukan atau celotehan yang terasa di telinga berulang-ulang, karena di situ lah pesan dari orang-orang terdahulu masih terjaga hingga kini.