REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Menteri Keluarga, Pensiunan, dan Pemuda Jerman Franziska Giffey menghidupkan kembali perdebatan tentang burkini (pakaian renang yang menutupi seluruh badan) bagi Muslimah. Perdebatan kembali muncul setelah dia mengatakan tidak keberatan dengan sekolah yang mengizinkan burkini untuk pelajaran renang yang dianggap kontroversial.
"Yang paling penting adalah kesejahteraan anak-anak dan itu termasuk bisa berenang," kata Giffey kepada koran lokal Die Zeit pada akhir pekan lalu, seperti dilansir di Euronews, Selasa (26/6).
Menteri yang berasal dari Sosial Demokrat itu mengatakan, dibenarkan bagi sekolah-sekolah untuk tidak hanya mengizinkan pakaian renang tersebut untuk dikenakan siswa, tetapi juga memberikannya kepada siswa. Sehingga, mereka dapat berpartisipasi dalam kelas-kelas berenang.
Kendati demikian, pernyataan Giffey itu menuai kritik di media sosial yang datang dari tokoh-tokoh seperti feminis Muslim dan pengacara Seyran Ates. "Tidak, mereka tidak mengacu pada menteri yang mengatakan bahwa burkini dapat diterima. Dan sebagian besar dunia yang tercerahkan merindukan saat ketika pendapat ini dilarang dari proses politik," kata Ates.
Para kritikus lainnya, termasuk Menteri Pertanian Julia Klockner, mengatakan, burkini menyebarkan pemahaman misoginis di tempat di mana anak-anak dan remaja seharusnya belajar yang sebaliknya. Perdebatan itu bukan hal baru. Pekan lalu, sebuah sekolah di Herne, sebuah kota di North Rhine-Westphalia, memunculkan kegemparan setelah sekolah tersebut membeli burkini. Sehingga, gadis-gadis Muslim dapat berpartisipasi dalam pelajaran berenang. Gadis-gadis itu menolak melakukannya karena alasan agama.
Serikat pendidikan lokal memuji keputusan itu sebagai solusi pragmatis. Sementara itu, pemerintahan distrik juga mendukung keputusan sekolah tersebut.