Kamis 05 Jul 2018 08:15 WIB

Pengacara Sesalkan Dakwaan BLBI

Sudah selayaknya BPK atau pihak berwenang membatalkan audit yang bertentangan.

Rep: EH Ismail/ Red: Hiru Muhammad
Maqdir Ismail
Foto: Republika/ Wihdan
Maqdir Ismail

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengacara Sjamsul Nursalim (SN) Maqdir Ismail menyesalkan dakwaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikenakan kepada mantan ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

Menurut Maqdir, dakwaan disesatkan ke masalah penyelesaian kewajiban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh SN yang sejatinya sudah tuntas 20 tahun silam. Penyelesaian kewajiban BLBI ditandai dengan penandatanganan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) antara pemerintah (BPPN) dan SN.

Bersamaan dengan closing MSAA pada 25 Mei 1999, kata Mqdir, BPPN dan menteri keuangan menerbitkan surat Release and Discharge (R&D) untuk SN.

“Surat itu dengan jelas menyatakan, dengan telah diselesaikannya seluruh kewajiban oleh SN yang tercantum dalam MSAA, pemerintah membebaskan dan melepaskan SN, Bank BDNI, direktur-direktur dan komisaris-komisarisnya dari setiap kewajiban lebih lanjut untuk pembayaran BLBI,” kata Maqdir dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Kamis (5/7).

Dia melanjutkan, surat itu pun menyatakan, pemerintah mengakui dan menyetujui tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apa pun atau menjalankan hak hukum apa pun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap SN, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal berkaitan dengan BLBI.

Pada tanggal yang bersamaan, kata Maqdir, pemerintah dalam Akta Notaris Nomor 48 tertanggal 25 Mei 1999 yang ditandatangani oleh Ketua BPPN dan SN menegaskan, SN telah memenuhi seluruh kewajiban dan pemerintah telah memberikan Surat Pelepasan dan Pembebasan (R&D) kepada SN.

Adapun mengenai utang petambak yang telah diperhitungkan dan diselesaikan melalui perjanjian MSAA 20 tahun yang lalu, tidak sepantasnya dipermasalahkan kembali akhir-akhir ini dalam sidang penyalahgunaan wewenang penerbitan SKL yang didakwakan pada SAT.

Hal itu dinilai tidak relevan karena MSAA ditandatangani dan di-closing pada waktu Glenn Yusuf menjabat sebagai ketua BPPN. Lagipula, dalam Pasal 12.4 MSAA jelas tertulis jikalau di kemudian hari ada perselisihan atau klaim harus dibicarakan oleh para pihak.

“Dan apabila tidak terjadi kesepakatan, maka perselisihan harus diselesaikan melalui pengadilan perdata. Sebelum adanya keputusan pengadilan berarti tidak ada misrepresentasi,” ujar Maqdir.

Dia menyatakan, setelah 20 tahun MSAA ditandatangani dan tidak pernah ada keputusan pengadilan yang menyatakan terdapat misrepresentasi dalam perjanjian MSAA, maka tidak seharusnya berulang-ulang mengungkit dan mengatakan adanya misrepresentasi. Terkecuali, bertujuan membentuk opini masyarakat untuk menyudutkan pihak tertentu.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Audit Investigasi atas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham PT BDNI tertanggal 31 Mei 2002 menyatakan, berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, BPK berpendapat bahwa PKPS BDNI telah closing tanggal 25 Mei 1999. Dalam laporan BPK tahun 2006 dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas BPPN tertanggal 30 November 2006 juga menyatakan, BPK berpendapat SKL tersebut layak diberikan kepada pemegang saham BDNI karena pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Dari segi kepastian hukum, Maqdir melanjutkan, baik laporan audit investigasi BPK 2002 maupun laporan audit BPK 2006 tersebut telah dengan konsisten menyatakan MSAA telah closing, “Pembebasan dan Pelepasan (R&D) telah diterbitkan sehingga SKL layak diberikan.”

Karena itu, Maqdir menilai, perkara yang didakwakan kepada SAT menjadi janggal dan terkesan dipaksakan lantaran pada 2017 atas permintaan KPK, BPK mengeluarkan laporan Audit Investigasi. Dalam halaman 13 Bab II angka 6 laporan tersebut berjudul batasan pemeriksaan dinyatakan, yakni pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara ini berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK sampai dengan 25 Agustus 2017.

“Di sini jelas BPK menyatakan bahwa bukti yang digunakan untuk audit investigasi ini adalah bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK.”

Artinya, kata Maqdir, data yang diaudit adalah data sekunder dan bukan data primer serta tidak ada yang diperiksa (auditee) yang bertentangan dengan peraturan BPK sendiri. “Nah, sekarang laporan investigasi tersebut dipergunakan sebagai dasar dakwaan kasus SAT. Dimana independensi dan keadilannya?” kata Maqdir mempertanyakan keabsahan Audit Investigasi BPK 2017 tersebut.

Maqdir menyatakan, laporan audit BPK 2002 dan 2006 sejalan dan konsisten satu sama lain, namun audit 2017 sama sekali bertolak belakang dengan kedua audit terdahulu. Padahal, pihak yang menerbitkan semua audit tersebut adalah institusi yang sama.

“Ini menyangkut reputasi dan kredibilitas BPK. Sudah selayaknya BPK sendiri ataupun pihak yang berwenang menarik atau membatalkan audit yang bertentangan, bukan malahan mengawal atau menjaga sesuatu produk yang secara proses sudah cacat, tidak independen, dan menyalahi ketentuan dan peraturan yang berlaku,” ujar Maqdir.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement