REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah resmi mengundangkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg). Dengan diresmikannya PKPU Nomor 20 Tahun 2018, artinya sudah tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan dan sudah harus menjadi pedoman.
"Sudah sah dan sudah diundangkan oleh Kemenkum-HAM artinya sudah tidak ada persoalan PKPU 14 dan PKPU 20 Tahun 2018 sudah legal berlaku dan menjadi pedoman untuk pencalonan legislatif yang dimulai sejak kemarin sampai 17 Juli nanti," ujar peneliti ICW, Almas Sjafrina saat dihubungi, Kamis (5/7).
Seandainya, ujar Almas, masih ada pihak-pihak yang keberatan dengan diundangkannya PKPU maka bisa memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Mereka, kata Almas, bisa mengajukan uji materi legalitas KPU kepada Mahkamah Agung (MA).
"Kalau masih mempertanyakan dan tidak sepakat dengan PKPU dan tetap mencalonkan mantan narapidana korupsi ya menempuh jalur hukum yang sudah diatur itu," kata dia.
Dengan aturan tersebut, Almas berharap ke depannya partai-partai politik mampu menghadirkan caleg-caleg yang berintegritas dan berkualitas. Begitu pun dengan Bawaslu maupun pihak lain yang sebelumnya menentang peraturan larangan mantan Koruptor, penjahat seksual anak dan bandar narkoba maju sebagai caleg.
"Saya harap Bawaslu atau siapapun harusnya mematuhi dan menghormati PKPU No 14 dan 20 Tahun 2018 yang sudah berlaku," ucapnya.
Menurut kajian ICW, banyak anggota legislatif yang kemudian tersandung kasus korupsi seperti halnya yang terjadi pada 2014 lalu. "Banyak, di DPR RI saja yang statusnya sudah tersangka pada saat dicalonkan kurang lebih lima orang walaupun kemudian kasusnya ada yang di SP3 atau di vonis bebas," kata Almas.
Tren tersangka kasus korupsi pada 2014, ucapnya, sebanyak 43 kepala daerah yang terafiliasi dengan parpol menjadi tersangka kasus korupsi. 17 di antaranya terafiliasi kepada Golkar dan 13 lainnya terafiliasi dengan Demokrat.
Kemudian, lanjut dia, ada 16 orang anggota DPR RI yang pada 2014 belum terjerat kasus hukum namun kemudian terjerat. Salah satunya mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Kemudian ada juga mantan ketua DPD, Irman Gusman yang juga tersandung kasus korupsi suap impor gula. Serta sebanyak 81 orang anggota DPRD yang juga menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang pada 2014 itu.
"Pada 2014 juga ada tiga pejabat tinggi negara yang diproses terkait kasus korupsi. Dua di antaranya menteri aktif yaitu Suryadharma Ali dan Jero Wacik. Selain itu Sutan Bhatoeghana yang menjabat sebagai Ketua Komisi VII DPR RI saat itu dan Hadi Purnomo Direktur Jendral Pajak periode 2002-2004 yang menjadi ketua BPK," kata dia seperti yang tertulis dalam catatan ICW di laman resminya.
Kemudian sambungnya tren pada 2017 ini sebanyak 30 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di 29 daerah di Indonesia. Dari 30 kepala daerah, lima di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan berencana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Kemudian ada 37 ketua maupun anggota DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka. Serta satu orang gubernur, lima orang wali kota dan 24 bupati dan wakil bupati.
"Ada enam kepala desa juga yang pernah terjerat kasus korupsi dan berencana mengikuti Pilkada, itu ada di kota Tegal, kabupaten Nganjuk, Mojokerto, Kutai Kertanegara, kota Batu dan Lombok Timur," ujarnya.
Adapun mengenai calon legislatif yang akan mengikuti Pilpres 2019 ini, Almas mengaku masih belum mengetahuinya. Pasalnya, proses pencalonan yang dipilih dari tiap-tiap parpol belum selesai sejak dibuka oleh KPU pada 4 Juli hingga 17 Juli 2018.
"Proses pencaloan belum selesai artinya parpol masih pada tahapan mendaftarkan calon mulai kemarin sampai 17 Juli 2018 nanti, (jadi) nama-namanya kita belum tahu, adakah mantan napikor yang tetap dicalonkan parpol walaupun dilarang (KPU)," jelasnya.