REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Masih ingat polemik penggunaan cadar di lingkungan akademik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi di Sumatra Barat? Sejak semester genap tahun akademik 2017/2018 lalu, Dosen Hayati Syafri yang mengenakan cadar terpaksa dirumahkan karena pilihannya dalam bercadar.
Tenaga pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tersebut mengaku kembali terancam tak bisa mengajar pada semester ganjil tahun akademik 2018/2019 mendatang. Alasannya, ia masih kukuh pada prinsipnya untuk menggunakan cadar saat mengajar.
"Kayaknya semester ini saya masih belum diizinkan mengajar. Persis sama seperti syarat sebelumnya," ujar Hayati sebelum terbang menuju Tanah Suci pada akhir Juli 2018 lalu.
Hayati mengaku pihak kampus masih bergeming dengan dengan kebijakannya dalam membatasi penggunaan cadar di lingkungan akademik. Artinya, Hayati diminta melepas cadar saat mengajar sesuai kode etik kampus yang sempat dibuat. Permintaan kampus ini disebabkan mata kuliah yang diajarkan Hayati diyakini memerlukan kejelasan mimik wajah saat berbicara.
Hayati mengaku sempat menyiasati permintaan kampus dengan meminta dipindahkan untuk mengajar mata kuliah yang tidak membutuhkan ekspresi wajah. Namun cara tersebut tak mempan membuat kampus mengizinkan Hayati menggunakan cadar saat mengajar.
"Namun dengan tetap meminta saya membuka cadar saat mengajar, sepertinya menukar mata kuliah yang diajar belum bisa dipenuhi," katanya lagi.
Hayati masih memohon Rektorat Kampus IAIN Bukittinggi lebih terbuka dalam menetapkan kebijakan soal cadar. Apalagi, sejumlah kampus lain terang-terangan mengizinkan penggunaan cadar seperti IAIN Imam Bonjol Kota Padang. Bahkan kampus negeri seperti Universitas Negeri Padang (UNP) pun mengizinkan dosennya menggunakan cadar.
"UNP sudah ada juga mahasiswa bercadar dan mereka tidak dilarang. Hal ini membuktikan alasan tidak efektif itu merupakan asumsi saja," kata Hayati.
Hayati sendiri saat ini sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci sejak akhir pekan lalu. Ia sempat mengaku bahwa keputusannya bercadar sejak tahun 2017 merupakan upaya dia untuk menyempurnakan agama sebelum berangkat ibadah haji.
"Mohon maaf dan mohon keridhoan juga terkhusus dari masalah cadar yang bergulir selama ini jika ada salah ucap, salah kata, salah tindakan dan salah dari apapun sehingga membuat tidak berkenan," jelas dia.
Sementara itu, Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi, Syahrul Wirda, mengaku bahwa saat ini belum ada keputusan apakah Hayati diizinkan kembali mengajar atau tidak. Ia menjelaskan, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sudah turun langsung untuk memeriksa Hayati terkait dugaan indispliner yang dilakukannya.
"Irjen turun bukan masalah cadar sih, tapi masalah kedisiplinan soal PNS. Cadar tidak masalah, akrena mereka menilai ini otonomi kampus. Mereka turun bukan soal ini, karena sudah viral mereka periksa kinerja seorang Hayati," kata Syahrul.
Sementara itu, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Sumatra Barat, Buya Busra Khatib Alam menyebutkan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mengawal polemik cadar ini. Ia bahkan sempat mengajukan sidang gugatan yang ditujukan kepada Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida dan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi Nunu Burhanuddin.
Hingga saat ini sudah dilakukan dua kali sidang di Pengadilan Negeri Bukittinggi, yakni sidang tanggal 2 Juli 2018 yang dihadiri tim pengacara dari IAIN Bukittinggi dan sidang tanggal 9 Juli 2018 dihadiri pihak tergugat. "Dalam mediasi yang dilaksanakan oleh pengadilan Negeri Bukittinggi pihak IAIN bersikukuh mengatakan tidak melarang bercadar hanya mengatur penggunaan cadar di IAIN dalam persoalan akademik dan non akademik," jelas Buya Busra.
Ia mmeras penjelasan yang disampaikan pihak kampus tidak ada perubahan sejak upaya mediasi dilakukan pada Mei 2018 lalu. Kenyataan di lapangan, lanjutnya, masih ada dosen yang belum bisa mengajar karena keyakinannya dalam bercadar.