REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengatakan tidak akan menerapkan seluruh sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran. Hal itu disampaikannya ketika memimpin pertemuan kabinet pada Senin (13/8).
Abadi mengisyaratkan negaranya akan tetap melakukan hubungan dagang dengan Iran. Namun semua transaksi perdagangan diupayakan tak menggunakan dolar AS. Hal ini sejalan dengan sanksi yang dijatuhkan AS terhadap Teheran.
"Kami tidak akan melakukan transaksi yang didominasi dolar (dengan Iran), tetapi kami tidak akan sepenuhnya berkomitmen untuk sanksi AS," ujar Abadi, dikutip laman Anadolu Agency.
Keputusan Abadi untuk tetap menjalin hubungan dagang dengan Iran terbilang cukup berani. Sebab Presiden AS Donald Trump telah mengancam, siapa pun yang masih berbisnis dengan Iran, tidak akan berbisnis dengan AS.
Baca juga: Irak: Sanksi Iran Kesalahan Strategis AS
Pekan lalu lalu, AS kembali memberlakukan sanksi ekonomi tahap pertama terhadap Iran. Sanksi tersebut dimaksudkan untuk menghalangi perolehan mata uang AS oleh Teheran dan transaksi bank dalam mata uang Iran, melarang perdagangan logam mulia, serta menyasar industri otomotif.
Sanksi tersebut diterapkan setelah Iran menolak keinginan AS untuk merevisi kesepakatan nuklir yang tercapai pada Oktober 2015, yang dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Trump berulang kali menyatakan ketidakpuasannya terhadap JCPOA.
Ia menilai JCPOA adalah kesepakatan yang cacat. Sebab dalam JCPOA tak diatur tentang program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah. Akhirnya pada Mei lalu, Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut.
AS akan menggandakan sanksi ekonominya terhadap Iran pada November. Sanksi selanjutnya akan menargetkan sektor energi, terutama ekspor minyak Iran ke pasar global.