REPUBLIKA.CO.ID, Postur tubuhnya ideal. Tutur katanya santun, jelas, dan indah bagai mutiara. Selalu tampil rapi dengan aroma harum yang menyerbak. Penuh kasih sayang, cerdas, berwibawa, baik dalam pergaulan, tidak senang membicarakan hal-hal yang tak berguna.
Begitulah gambaran sosok Imam Hanafi, salah satu imam mazhab dalam dunia Islam. Ia punya garis keturunan Persia, yang berarti satu-satunya imam mazhab yang bukan orang Arab.
Namun, di dalam Islam tidak mengenal perbedaan antara orang Arab dan bukan Arab. Semua imam mazhab berjuang untuk menegakkan ajaran Alquran dan sunah Nabi SAW.
Selain dikenal dengan nama Imam Hanafi, ia juga masyhur disebut Abu Hanifah. Soal nama ini, para ahli sejarah punya beragam pandangan. Ada yang menyatakan, kemasyhuran nama itu karena ia memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah. Sebab itu, ia diberi julukan dengan Abu Hanifah, yang berarti ayah dari si Hanifah.
Pandangan lain menyebut, karena sejak kecil ia sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya sehingga ia dianggap seorang yang hanif (sikap yang lurus) pada agama. Ada pula yang menerjemahkan kata “hanifah” berarti tinta dalam bahasa Persia. Ini berkaitan dengan kebiasaan beliau yang selalu membawa tinta ke manapun pergi.
Pedagang Minyak
Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriah bertepatan dengan 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya namanya adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi, bergelar Al-Imam Al-A'zham. Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umaiyyah. Hanafi hidup dalam keluarga yang saleh. Sudah hafal Alquran sejak masih usia kanak-kanak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru.
Saat masih kecil, Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera. Bahkan dia memiliki toko untuk berdagang kain. Menurut riwayat, Imam Hanafi pernah diajak oleh ayahnya, Tsabit, bertemu dengan Ali bin Ali Thalib.
Sebelum Imam Hanafi kembali ke negerinya, Ali bin Ali Thalib berdoa untuknya, “Mudah-mudahan di antara keturunan Tsabit ada yang menjadi orang baik-baik dan berderajat luhur.” Kisah ini juga pernah dituturkan Ismail bin Hamad bin Abu Hanifa, cucu Imam Hanafi.
Doa Ali bin Ali Thalib ternyata terbukti. Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi kemudian menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadits, di samping ilmu kesusastraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak bidang ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.
Yazid bin Harun berujar, “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Abu Hanifah.”
Kalimat yang hampir sama juga terlontar dari Imam Syafi'i, “Tidak seorang pun mencari ilmu fikih kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya sesuai apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.”