REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah mencatat, pada 711 M Bani Umayyah menunjuk seorang pemuda berusia 17 tahun bernama Muhammad bin Qasim untuk memperluas kekuasaan Umayyah di wilayah Sindh. Wilayah ini berada di sekitar Sungai Indus di bagian utara India (sekarang Pakistan).
Muhammad bin Qasim pun memimpin pasukannya yang terdiri atas 6.000 tentara. Untuk menjangkau dan menguasai Sindh, ia dan pasukannya mengawali langkah dari Makran, sebuah kawasan di bagian timur Persia.
Ketika sampai di Nerun, sebuah kota di tepian Sungai Indus, pasukan Muslim ini disambut hangat oleh warga dan para biarawan Buddha yang menghuni kota itu. Mereka menerima kehadiran pasukan yang dipimpin Muhammad bin Qasim tersebut tanpa pertempuran.
Kendati sebagian besar warga dan biarawan Buddha menyambut baik pasukan Muslim tersebut, tak demikian halnya dengan pemimpin mereka, yakni Raja Sindh Dahir. Sang raja sangat menentang ekspansi Muslim. Karena itu, ia pun mengerahkan pasukan untuk menghadang Muhammad bin Qasim.
Baca: Sejarah Panjang Peradaban Islam di India
Akhirnya, peperangan pun tak terelakkan. Beruntung, dalam peperangan yang berkobar pada 712 M tersebut, pasukan Muslim utusan Bani Umayyah itu berhasil merebut kemenangan. Kemenangan itu membuat seluruh wilayah Sindh berada di bawah kendali Muslim.
Meski berhasil menguasai wilayah Sindh, penduduk setempat tidak dipaksa sama sekali untuk masuk Islam. Mereka dibebaskan untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti sebelumnya, termasuk dalam beragama. Kepada seluruh warga, baik yang memeluk Hindu maupun Buddha, Muhammad bin Qasim dengan lantang berjanji akan memberikan jaminan keamanan dan kebebasan beragama.
Sebagai contoh, warga dari kasta brahmana tetap meneruskan pekerjaan mereka sebagai pemungut pajak. Sedangkan, biarawan Buddha tetap meneruskan aktivitas mereka sebelumnya, yakni mengelola biara-biara. Toleransi beragama tersebut, Sindh pun menjadi kota yang aman dan adil.
Tak berhenti di Sindh. Pada masa-masa berikutnya, gelombang tentara Muslim menembus berbagai wilayah di India dengan pola yang sama. Mereka memperluas dan memperkuat domain politik Islam tanpa mengubah struktur keagamaan dan sosial masyarakat setempat.
Sebelum Islam datang, masyarakat India sudah hidup dalam sistem kasta. Dalam sistem ini, masyarakat dipecah menjadi bagian-bagian yang terpisah. Nah, ketika Islam hadir, masyarakat setempat melihat sesuatu yang berbeda. Banyak dari mereka memandang kesetaraan yang diajarkan Islam jauh lebih menarik ketimbang sistem kasta.
Dalam sistem kasta, “siapa Anda” dan “dari siapa dilahirkan” sangat penting untuk menentukan posisinya dalam masyarakat. Tidak ada peluang bagi seseorang untuk menempati kelas sosial yang lebih tinggi dibanding orang tuanya.
Sebaliknya dalam Islam, setiap orang memiliki peluang untuk bertindak sesuai keinginannya dan mencapai puncaknya dalam masyarakat tanpa melihat bibit, bebet, dan bobotnya.