REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita dokumen terkait dengan perizinan proyek Meikarta antara PT Lippo Cikarang Tbk dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi, dari 12 lokasi digeledah. Namun, KPK belum dapat merinci lebih lanjut apa saja yang ditemukan dan disita dari setiap lokasi, termasuk dari kediaman CEO Lippo Group, James Riady, di Tangerang, Banten.
"Saya belum bisa menyampaikan secara lebih rinci dari 12 lokasi tersebut. Tapi secara umum, secara keseluruhan, yang kami temukan dan kemudian disita ya dokumen-dokumen terkait dengan proyek perizinan Meikarta," jelas Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (18/10).
Febri menjelaskan, di antara dokumen-dokumen tersebut, terdapat kontrak yang juga kemudian disita oleh KPK. Selain dokumen, KPK juga menemukan barang bukti elektronik, catatan keuangan, dan uang dalam pecahan Rupiah dan Yuan dalam jumlah lebih dari Rp 100 juta. Ia mengaku tidak menemukan kendala dalam proses penggeledahan di 12 lokasi itu.
"Relatif tidak ada kendala yang berarti (dalam penggeledahan) karena KPK sudah mengidentifikasi sejak awal. Mulai dari lokasi-lokasi dan bukti-bukti yang kami cari di 12 tempat tersebut," jelasnya.
Setelah proses penggeledahan selesai, KPK akan mempelajari lebih lanjut hasil penggeledahan yang sudah dilakukan. Menurut Febri, dokumen-dokumen yang disita itu merupakan dokumen yang relevan untuk kepentingan pembuktian sembilan orang tersangka yang sudah ditetapkan KPK terkait kasus dugaan suap pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
"Kalaupun nanti ada informasi baru yang dapat ditelusuri dan relevan, tentu akan kami telusuri," jelasnya.
Pada Senin (15/10) lalu, KPK menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022, Neneng Hasanah Yasin (NHY) dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group, Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta. Selain Neneng dan Billy, KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya.
Mereka, yakni dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta Pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ). Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati (DT) serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi (NR).
Neneng Hasanah dan anak buahnya diduga menerima hadiah atau janji dari pengusaha terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta . Diduga pemberian terkait izin proyek seluas total 774 ha itu dibagi ke dalam 3 tahap, yaitu tahap pertama 84,6 ha, tahap kedua 252,6 ha dan tahap ketiga 101,5 ha.
Pemberian dalam perkara ini diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp 13 miliar, melalui sejumlah Dinas, yaitu: Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada bulan April, Mei dan Juni 2018. Keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks.
Megaproyek Meikarta memlliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga tempat pendidikan. Karena itu, dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampat, hingga Iahan makam.
Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Neneng mendapat pasal tambahan yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.