Jumat 26 Oct 2018 22:36 WIB

DPR Tegaskan Tugas BPS Kumpulkan Data Bukan Putuskan Impor

BPS bertindak terlalu jauh dengan interpretasi pembenaran terhadap impor beras

Red: EH Ismail
Petugas memeriksa stok beras di Gudang Bulog Baru Cisaranten Kidul Sub Divre Bandung, Jawa Barat, Senin (16/10/2018).
Foto: ANTARA FOTO
Petugas memeriksa stok beras di Gudang Bulog Baru Cisaranten Kidul Sub Divre Bandung, Jawa Barat, Senin (16/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Langkah Badan Pusat Statistik (BPS) yang mendukung langkah pemerintah mengimpor beras 2 juta ton direspon oleh kalangan legislatif. Terlebih,  BPS menyatakan surplus produksi beras 2,8 juta ton. BPS dinilai terlalu jauh dan melenceng dari tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang statistik.

“Bukan bagian dia itu (memberikan dukungan atas kebijakan impor beras),” kata Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan di Jakarta, Jumat (26/10).

Politisi Partai Gerindra ini menekankan tugas BPS paling utama mensinergikan data produksi yang dimilikinya kepada kementerian dan lembaga terkait. Artinya, BPS harus memastikan bahwa data produksi yang diperolehnya betul-betul diolah dengan menggunakan metode yang tepat.

“Data itu pula menjadi dasar bagi pemerintah untuk menetapkan sebuah kebijakan,” ujar Heri.

Heri menilai, BPS telah bertindak terlalu jauh dengan membuat interpretasi pembenaran terhadap kebijakan impor beras pemerintah dengan dalih data yang diolahnya sendiri. “Ini yang repot kalau jalan sendiri-sendiri,” tuturnya.

Lebih lanjut Heri mengatakan, akan sangat fatal jika BPS ikut memberikan penekanan terhadap sebuah kebijakan. Apalagi jika sampai kebijakan tersebut keliru.

“Saya khawatir penekanan oleh BPS ini kemudian disikapi dalam kebijakan importase pangan lainnya seperti importase gula yang sebelumnya ramai karena diprotes oleh petani gula. Biar nggak digoreng-goreng,” katanya.

Heri meminta BPS fokus dalam mempertanggungjawabkan data yang dimilikinya. Sehingga data tersebut bisa dikoordinasikan dengan lembaga lain sebagai dasar memutuskan kebijakan. Apalagi data BPS ini juga menimbulkan polemik karena produksi surplus.

“Sebab surplus ini sejatinya menunjukkan produksi petani mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga tidak impor. Kalau sinkron (red.produksi beras surplus) berarti ada data keliru kok ada impor,” tutur dia.

Heri menyarankan, ketimbang memicu polemik baru lagi di publik, BPS harus bersinergi dengan Kemendag, Kementan, Bulog dan instansi pemerintah lainnya. Sebab pada akhirnya, data BPS ini jadi pijakan pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan seperti dalam importase pangan.

Hal senada dilontarkan Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin. Menurutnya, harusnya BPS hanya berbicara dalam tataran pengumpulan data. Tidak kemudian ikut memberikan pembenaran terhadap kebijakan impor beras yang diambil pemerintah.

“Tidak etis BPS bicara perlu tidaknya impor. BPS itu cukup berbicara bahwa data dia bisa dipercaya dengan menggunakan teknologi yang meyakinkan kita semua bahwa (data) BPS itu benar,” katanya.

BPS, lanjut politisi PKS ini, diberikan anggaran yang lumayan besar untuk memastikan data-data yang jadi pijakan pemerintah dalam mengambil kebijakan valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Tidak kemudian ujug-ujug ikut memberikan penekanan terhadap perlu tidaknya impor.

“Bagi DPR dan Pemerintah yang penting data (BPS) benar, mengenai perlu tidaknya impor itu urusan DPR bersama pemerintah,” tegas dia.

Menurutnya, hal aneh kalau BPS ikut memberikan penekanan terhadap impor beras 2 juta ton tersebut. Sebab data surplus beras 2,8 juta ton malah makin menguatkan indikasi adanya kebijakan ugal-ugalan dalam menetapkan impor pangan.

Untuk itu, pria Alumnus IPB ini menyarankan BPS cukup berpedoman pada tupoksinya sebagaimana diatur undang-undang. Tidak kemudia ikut cawe-cawa dalam memberikan penilaian perlu tidaknya impor beras itu yang seharusnya merupakan tugas DPR dan Pemerintah.

“Nanti DPR curiga ada apa BPS bicara impor dalam tanda kutip ikut mendukung kebijakan impor. Ini bahaya. Kita dukung BPS professional, jangan mau didikte, sampaikan saja datanya apa adanya. Soal kebijakan itu urusan pemerintah bersama DPR. Walau BPS di bawah pemerintah tapi harus jadi lembaga kredibel yang dipercaya. Berbahaya kalau data itu dipolitisir, diintervensi sehingga tidak diyakini kebenarannya,” kata Akmal.

Sebelumnya, Kepala BPS Kecuk Suhari¬yanto ikut menjelaskan alasan pemerintah terpaksa impor beras walau data dari lembaga yang dipimpinnya menunjukkan ada surplus 2,8 juta ton hingga akhir tahun.

"Kenapa masih impor? Karena surplus (beras) ini tidak ter¬letak di satu tempat. Surplus (keberadaannya) tersebar di petani, konsumen, pedagang, penggilingan sehingga, tidak bisa dijadikan sebagai acuan cadangan beras nasional. Itu tidak bisa dikelola pemerintah," ungkap Kecuk saat jumpa pers.  mengenai metode baru penghitungan produksi padi, di Jakarta.

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement