REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Lingkungan Universitas Indonesia Tarsoen Waryono menjelaskan bahaya mikroplastik yang berpotensi mencemari lingkungan dan tidak dapat hancur dalam tubuh biota perairan.
Tarsoen menjelaskan, banyak orang memberikan pemahaman tentang mikroplastik dan ukurannya. Tetapi yang paling sederhana dipahami, adalah potongan-potongan kecil dari plastik yang ukurannya sangat kecil kurang dari 5 mm dan berpotensi mencemari lingkungan, baik di daratan maupun di perairan.
Menurut Tarsoen, potongan plastik tersebut, berasal dari dua sumber, yaitu mikro primer yaitu hasil dari bahan yang diproduksi manusia dan dipergunakan secara langsung dan mikro sekunder yang berasal dari pemecahan puing-puing plastik yang lebih besar seperti bagian makroskopik. Jenis ini membentuk bagian potongan kecil dan sebagian besar menjadi sampah di perairan laut.
Sumber yang kedua yaitu jenis mikroplastik berdasarkan sumbernya, mampu bertahan pada ekosistem daratan dan ekosistem akuatik, karena plastik tidak dapat rusak selama bertahun-tahun.
“Mikroplastik di perairan laut, banyak tertelan oleh hidupan perairan laut, karena bentuknya mirip dengan hidupan planton makanan ikan,” kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin (26/11).
Dia mengatakan, karena mata rantai makanan, mikroplastik dimakan hewan laut seperti ikan kecil dan ikan kecil dimakan ikan yang lebih besar, dan ikan yang lebih besar dimakan ikan yang besar.
“Karena mikroplastik tidak dapat hancur akhirnya akan berakumulasi di dalam tubuh perut biota perairan," kata dia.
Sayangnya, kata dia, para ilmuwan di dunia belum bisa memaparkan proses metabolisme ikan yang mengandung mikroplastik. Baru menginformasikan bahwa ada mikro plastik dalam tubuh ikan laut besar (paus), tinja manusia mengandung mikroplastik dan lainnya.
Dia menyebutkan, berbagai penelitian kini sedang dilakukan, keterkaitannya dengan dampak mikroplastik terhadap hidupan biota laut. Namun pada tahap awal mikroplastik sangat besar pengaruh dan dampaknya terhadap perairan laut.
Hingga kini, dia menyebut seluruh siklus dan pergerakan mikroplastik dalam tubuh hewan laut, masih belum banyak diketahui proses metabolismenya, penelitian masih sedang dilakukan untuk menyelidiki permasalahan tersebut.
"Saya berpendapat bahwa kematian ikan paus karena mengkonsumsi plastik. Sampah plastik tidak dapat dicerna dan sulit busuk, dan bahkan kemungkinan terjadi reaksi kimia antara kandungan plastik dan enzim pengahancur makanan dalam tubuh ikan, mengakibatkan ikan menjadi lemas dan akhirnya mengalami kematian," katanya.
Dia mengungkapkan, kendali terhadap pencemaran mikroplastik, sebenarnya telah lama ditelaah Kemaritiman (Kementerian Maritim), akan tetapi apa yang harus dilakukan masih belum berjalan sepenuhnya. Mikroplastik di perairan teluk Jakarta mencapai ukuran panjang 2 km dan lebar 600 meter, terobang ambing oleh arus laut.
Dia mengatakan, upaya yang harus dilakukan pihak kepentingan (pemerintah) dan stakeholder. Pertama, bagaimana merumuskan untuk menjaring potongan plastik kecil agar tidak menyebar ke mana-mana.
Kedua, sosialisasi kepada masyarakat keterkaitannya dengan tertib sampah plastik. Ketiga, setop pabrik plastik dan ganti dengan kertas bukus yang pada 1970-an masih diproduksi di Leces, Blabag, Bojonegoro, dan Padalarang, dimana bahan bakunya adalah batang padi.