REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Arsitek Yu Sing mengatakan desain bangunan yang tanggap bencana dapat mengadopsi dan memelihara kearifan budaya lokal. Rumah tradisional yang berbahan kayu, contohnya, cocok untuk wilayah rawan gempa.
Yu Sing mengungkapkan masyarakat secara tradisi telah menyesuaikan bahan bangunannya dengan kondisi tempat tinggalnya. Di daerah yang sering mengalami gempa, mereka membubat bangunan yang material alam yang fleksibel terhadap guncangan.
Di samping kesesuaian desainnya dengan kerawanan bencana di wilayah tersebut, rumah tradisional sering kali dibangun di posisi yang lebih tepat. Rumah tidak berdiri di tempat yang memang akan terkena banjir.
"Kalau pun akan terkena banjir maka masyarakat akan membuat tiang yang tinggi atau bangunannya terapung," kata Yu Sing dalam kuliah umum "Arsitektur yang Tanggap Bencana" di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat..
Yu Sing menjelaskan, arsitektur tanggap bencana sangat bergantung pada jenis bencana yang harus disikapi. Dengan memerhatikan aspek itu maka rumah akan relatif mampu untuk bertahan atau kalaupun rusak tidak sampai menewaskan orang yang tinggal di dalamnya saat bencana menerpa.
Yu Sing menuturkan arsitektur tradisional sesungguhnya mencerminkan cara warga membangun rumah dalam upaya untuk menyikapi dan hidup bersama-sama dengan alam. Warga pada awalnya memang sudah beradptasi pada keadaan alam dan bencana.
Namun, saat ini sudah banyak warga yang meninggalkan kearifan lokal dan mulai membangun rumah dengan tembok dan beton tanpa memerhatikan konsep ketahanan terhadap bencana. Karena keterbatasan biaya, warga membangun rumah tidak layak huni dan tidak sesuai standar untuk menghadapi bencana.
Padahal, bencana sering terjadi di Indonesia seperti gempa. Sebagai contoh, rumah yang dibangun tidak sesuai standar tahan bencana telah menelan banyak korban jiwa seperti yang terjadi di Lombok pada 2018.
"Karena tidak cukup biaya, mereka membuat tembok seadanya, sehingga strukturnya tidak tahan gempa," ujarnya.
Material industri memang dapat digunakan untuk membangun bangunan tanggap bencana, namun menurut Yu Sing, biaya yang dibutuhkan akan jauh lebih besar. Di samping itu, ekonominya akan berputar pada ekonomi pemodal kuat yang memiliki industri-industri itu sehingga mengembangkan sistem ekonomi kapitalisme.
Berangkat dari permasalahan itu, Yu Sing memandang kesadaran akan pentingnya arsitektur tanggap bencana dengan memanfaatkan dan mengelola material alam harus dibumikan untuk menghindari banyak korban saat terjadi bencana.
"Kita harus kembali kepada alam, menjadi manusia tropis dan kembali mengelola alam," tutur Yu Sing yang merupakan lulusan S1 Arsitektur Institut Teknologi Bandung.
Untuk pengembangan arsitektur tanggap bencana berbahan material alam, seperti kayu, maka hal yang juga harus diperhatikan adalah ketersediaan bahan baku. Otomatis, pengelolaan alam harus dilakukan dengan baik dan berkelanjutan.
Ketika kesadaran akan pentingnya pemanfaatan material alam terbentuk, maka secara tidak sadar kepedulian terhadap pengelolaan alam akan bertumbuh karena untuk menjamin ketersediaan bahan baku dari alam. Selain itu, teknologi pemanfaatan potensi alam untuk pembangunan arsitektur tanggap bencana juga harus dikembangkan dari waktu ke waktu.
Dia mengatakan di luar negeri, dengan teknologi, bangunan dapat dibuat 70-80 lantai dengan kayu.