REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Puluhan perempuan berseragam biru sedang asyik menyeterika. Sesekali, kepulan uap menyembul dari telapak alat perapi pakaian itu. Energi Panas yang sempurna membuat pekerjaan mereka berjalan singkat. Tidak sampai satu menit, sepotong pakaian sudah masuk ke dalam keranjang. Tiap setrika yang digunakan para pekerja Bogor Laundry terhubung dengan selang. Untaiannya mengantar panas dari pipa-pipa paralel yang tersambung ke boiler. Ketel uap ini diasup oleh energi gas. Sumbernya berasal dari sebuah stasiun mini yang terletak di serambi workshop yang beralamat di Jalan Sukasari 3 No 15, Bogor, Jawa Barat.
Sebuah instalasi bernama Pressure Reducing System (PRS) menjadi media pengalir panas dari tabung gas alam terkompresi alias Compressed Natural Gas (CNG). Sistem ini merupakan penurun tekanan pada gas dari tinggi menjadi rendah. Ketika tekanan turun, gas bisa disalurkan. PRS yang juga berperan sebagai pemadu regulator ini akan mendistribusikan gas ke berbagai macam alat lewat pipa-pipa yang yang tergantung di langit-langit. Gas bertekanan rendah pun siap dikonsumsi oleh boiler dan dryer untuk menyelesaikan proses produksi.
Tabung CNG diisi oleh Gaslink Truck milik PT Gagas Energi Indonesia. Dalam 24 jam, truk itu akan mengantar CNG ke workshop Bogor Laundry pada pagi dan malam hari. General Manager Bogor Laundry Daryanto menjelaskan, kebutuhan CNG untuk produksi di Bogor Laundry mencapai 50-60 bar dari batas maksimal 130 bar. Setiap bar berharga Rp 8.700. Menurut Daryanto, CNG yang sering disebut Gaslink tergolong ramah lingkungan. Zat metana yang terkandung dalam Gaslink memiliki emisi lebih sedikit ketimbang gas LPG.
Dia mengungkapkan, Bogor Laundry menggunakan CNG sejak 2017 lalu. Syahdan, pemilik Bogor Laundry ingin agar perusahaannya lebih efisien dalam sumber daya manusia dan pemanfaatan energi. Padamulanya, perusahaaan jasa yang tergolong usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini mengganti bahan bakar mobil operasional. Mobil sejenis mini van itu bermigrasi dari bensin menjadi bahan bakar gas (BBG). Eksperimen ternyata berhasil. Pengeluaran untuk operasional mobil bisa turun hampir tiga kali lipat. “Lumayan, kalau bensin harus keluar Rp 3 juta, pakai BBG bisa Rp 1,2 juta,” ujar Daryanto saat berbincang dengan Republika di Workshop Bogor Laundry belum lama ini.
Terinspirasi dari kesuksesan efisiensi BBG, perusahaan jasa yang berdiri sejak Desember 2010 itu melakukan percobaan lainnya. Pemilik Bogor Laundry Sri Derin Shalihah berencana mengganti bahan bakar liquified petroleum gas (LPG) dengan jaringan gas. Daryanto menjelaskan, keinginan bermigrasi bukan semata karena alasan efisiensi. Mereka butuh jaminan bahan bakar untuk memastikan proses produksi bisa berjalan. Selama menggunakan gas LPG, ujar dia, harga kerap berfluktuasi. Keberadaannya pun terkadang langka. Kelangkaan gas LPG berdampak pada telatnya pengisian gas. “Kalau gas telat itu kita alarm. Jika keseringan maka (sistem boiler) bisa rusak,” kata dia.
Mereka pun membuat permohonan untuk menggunakan Jargas pada 2015 lalu. Namun, Bogor Laundry justru disarankan untuk menggunakan CNG. Daryanto mengungkapkan, rekomendasi itu karena penggunaan jargas sebenarnya diprioriaskan untuk konsumen di perumahan atau sentra UMKM. Setelah menimbang beberapa waktu, Derin — nama panggilan Sri Derin Shalihah, memutuskan untuk memilih CNG. Bogor Laundry pun resmi mulai menggunakan Gaslink pada Agustus 2017.
Setelah satu tahun lebih menggunakan Gaslink, Daryanto mengaku puas. Bogor Laundry tidak lagi terpengaruh dengan fluktuasi harga dan kelangkaan yang kerap menjadi kendala saat menggunakan gas LPG. Meski biaya pengeluaran tak jauh berbeda dengan biaya gas LPG,penggunaan CNG memperlancar operasional produksi Bogor Laundry. Karyawan juga tak perlu repot pasang copot tabung LPG. Pada era CNG, operasional dan pemeliharaan ditangani oleh petugas Gagas.
"Kita juga ingin bantu produk lokal karena CNG ini tidak impor," ujarnya.
Bisnis Bogor Laundry pun semakin lancar. Terlebih, okupansi hotel dan penginapan di sekitar Bogor kerap meningkat menjelang alih tahun. Padatnya tamu menjelang tahun baru ikut menjadi berkah bagi Bogor Laundry. Menurut Daryanto, tidak sedikit hotel yang bermitra dengan UMKM bersertifikasi ISO 9001: 2015 itu. Jejeran hotel elite di Bogor seperti Hotel Salak, Aston, grup Amaris, Padjadjaran Suite menjadi pelanggan Bogor Laundry.
"Ada juga dari Diklat BPJS," kata Divaryanto.
Rentetan klien berlabel korporat itu menyumbang sepertiga dari omzet Bogor Laundry yang bernilai Rp 300 juta per bulan. Omzet yang jauh melonjak dari ketika Bogor Laundry pertama kali memulai usaha pada delapan tahun lalu, yakni sekitar Rp 10 juta.
Klien korporat umumnya menggunakan jasa one day service. Bogor Laundry harus siap untuk memberikan layanan jasa satu hari kepada mereka. Ketika siang pakaian kotor datang, mereka hanya punya waktu sekitar enam-delapan jam. Mereka mencuci, mengeringkan dan menyetrika pakaian-pakaian itu. Karena itu, Daryanto mengungkapkan, keberadaan CNG amat bermanfaat untuk menjamin stok bahan bakar bagi laundry. “Istilahnya kita tinggal produksi. Enggak usah pikirin bahan bakar,”jelas dia.
Lia Yuliawinarti, Area Head Bogor Gagas Energi Indonesia menjelaskan, pelanggan Gaslink tidak hanya di Bogor. Mereka tersebar di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Semarang, hingga Surabaya. Dalam waktu dekat, energi terkompresi ini akan merambah Batam. Untuk saat ini, dia menjelaskan, baru ada lima UMKM percontohan yang menggunakan Gaslink. Mereka bergerak dari sektor laundry, makanan hingga perhotelan.
Menurut Lia, Gagas Energi Indonesia yang merupakan anak perusahaan PT PGN Tbk ini sudah melayani hampir 70an pelanggan Gaslink. Setiap bulan, Gagas bisa menjual 1,3 juta m3 Gaslink dengan berbagai kapasitas mulai tabung 25 m3 hingga 4000 m3. Selain menjual Gaslink untuk sektor industri dan komersial, Gagas menyediakan CNG untuk sektor transportasi. CNG pun bisa dikonversi menjadi listrik.
"Untuk listrik sendiri, Gagas dibantu oleh anak usaha Widar Mandripa Nusantara," jelas dia.
Syarat untuk menggunakan Gaslink cukup mudah. Calon pelanggan harus mencapai pemakaian minimal bahan bakar atau energi. "Misalnya pemakaian bahan bakar eksisteng saat ini per bulan setara dengan minimal 20 tabung gas berukuran 50 kg," ujar Lia.
Upaya PGN untuk menyediakan gas alam cair terkompresi tak lepas dari ikhtiar menjaga lingkungan. Lia menjelaskan, emisi yang dihasilkan gas ini cukup rendah jika dibandingan dengan emisi dari bahan bakar minyak. Selain itu, seratus persen bahan material Gaslink merupakan produk lokal. Gaslink pun bukan merupakan energi bersubsidi sehingga tidak mengganggu keuangan negara atau APBN.
Pekerja Bogor Laundry
UMKM dan energi
Di negeri ini, pengusaha UMKM seperti Bogor Laundry merupakan penggerak utama roda ekonomi. Mereka membuka lapangan pekerjaan dan menjadi pembayar pajak yang taat. Meski demikian, kebutuhan akan keberadaan energi yang terjangkau, efisien dan pasti masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Pada umumnya, para pengusaha UMKM menggunakan gas tabung LPG 3 dan 12 KG. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat konsumsi LPG bisa mencapai 6,5 juta Metrik Ton pada tahun ini. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah setidaknya harus mengimpor 70 persen dari negara-negara Timur Tengah.
Produksi gas di Indonesia yang mencapai 1,2 juta barel setara minyak per hari sebenarnya bisa mencukupi kebutuhan tersebut. Neraca pembayaran gas bahkan cenderung surplus ketimbang minyak bumi yang masih defisit, Namun, profil produksi gas domestik adalah gas kering. Tekanannya pun amat tinggi sehingga sulit untuk dimasukkan ke dalam tabung. Untuk menyiasati ini, PGN pun menggalakkan program jaringan gas dan membuat uji pasar untuk Gaslink.
Hingga saat ini PGN tercatat mengelola jaringan infrastruktur pipa gas sepanjang 7.453 km. Pipanisasi itu untuk menyalurkan gas bumi ke 203.314 pelanggan dari berbagai segmen mulai dari industri hingga UMKM. Jumlah ini masih jauh dari cukup untuk mensubtitusi gas LPG khususnya gas 3 Kg yang diprediksi over kuota hingga akhir tahun.
PGN melalui Gagas Energi Indonesia juga menghadirkan CNG. Gas alam terkompresi dihadirkan untuk menjangkau daerah-daerah yang belum dijangkau oleh gas pipa. Khususnya, para pelaku industri menengah, hotel, dan restoran. Uji pasar ini pun dinilai Lia cukup sukses. Hingga saat ini, dia mengungkapkan tidak ada komplain dari pengusaha UMKM yang mengonsumsi Gaslink. “Mereka mendapatkan banyak kemudahan seperti kepraktisan. Selain itu yang paling penting, rata-rata pelanggan Gaslink bisa merasakan efisiensi 10 persen-20 persen.”kata dia.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menjelaskan, para pengusaha UMKM masih memiliki kendala dalam pemanfaatan energi. Padahal, pemerintah mencatat kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 57,84 persen menjadi 60,34 persen dalam lima tahun terakhir. Ketangguhan pelaku UMKM ini ditunjukkan di tengah ekonomi global yang cenderung melambat.
Bhima mengungkapkan, tingginya kontribusi UMKM dinilai akan semakin besar dengan energi yang efisien dan ramah lingkungan. Menurut dia, kendala terbesar dari UMKM, khususnya industri kecil untuk berkembang adalah soal stabilitas harga.
Para pengusaha ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap energi khususnya Gas LPG dan solar. Masalahnya, dua jenis energi ini kerap bermasalah dengan harga dan ketersediaan. Ketika tabung LPG langka, pengusaha akan sulit melakukan produksi. “UMKM pun masih harus struggle tidak bisa menaikkan skala industrinya,” ujar dia saat berbincang dengan Republika belum lama ini.
Untuk itu, Bhima pun mendorong adanya peningkatan pelayanan bagi UMKM dan pembangunan infrastruktur pengolahan gas. Dia menilai, kilang-kilang baru harus dibangun agar PGN fokus memproduksi gas dalam bentuk jadi. Negara juga harus memperlihatkan komitmennya dalam bentuk penyuntikan modal. "PMN (penyertaan modal negara) untuk gas juga harus didorong," tegasnya.
Petugas Gaslink Truck milik PT Gagas Energi Indonesia.