REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teror terhadap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus terjadi. Terakhir, pada Januari 2019, ketua dan wakil Ketua KPK menjadi sasaran teror yang dialamatkan kepada rumah masing-masing.
Novel Baswedan, penyidik KPK yang juga menjadi korban penyiraman air keras yang terjadi pada Selasa subuh, 11 April 2017, meluapkan keluh kesahnya akan potret penegakan hukum di Indonesia. Pria berpangkat Komisaris Polisi itu menilai betapa anehnya, orang-orang yang ingin menegakkan hukum justru diburu dan diserang.
"Kita ingin Indonesia baik. Kenyataannya, mereka yang harusnya melakukan penegakan hukum diteror. Sunggu keterlaluan," kata Novel dalam diskusi bedah novel 'Teror Mata Abdi Astina' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/1).
Novel menuturkan, praktik korupsi di Indonesia sudah amat parah. Sebab, hampir terjadi merata di semua sektor. Praktik korupsi juga telah dilakukan secara tersistematis sehingga mampu mengaburkan praktik korupsi yang diperbuat koruptor.
Keadaan bertambah miris lantaran mereka yang seharusnya ikut mengawasi justru terlibat dalam lingkaran korupsi. Alhasil, teror-teror yang dilakukan kepada anggota KPK seolah ditutupi dan dibiarkan. "Itu kejahatan. Itu luar biasa," kata Novel.
Menurut laki-laki berusia 41 tahun itu, sebuah negara tidak akan benar jika kondisi penegakan hukum tidak dalam kondisi baik. Cita-cita membangun perekonomian, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat sulit dicapai jika urusan hukum belum beres. Novel menilai, apapun kebijakan yang dibuat pasti ada celah ketika penegakan hukum bermasalah.
Pada momen Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 kali ini, ia juga menyangkan sikap sebagian masyarakat yang luput akan persoalan hukum. Mayoritas masih seperti nyaman dan betah berdebat seputar politik identitas yang minim esensi.