REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), Ustaz Jeje Zainudin menyampaikan beberapa kritikan terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dia menolak RUU itu lantaran berpotensi melegalkan pelanggaran norma agama dan norma susila yang dilakukan secara sukarela.
Dia menjelaskan, sebuah RUU itu layak untuk diterima dan disahkan apabila mempunyai sekurangnya tiga landasan utama, yaitu andasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Namun, menurut dia, RUU PKS tersebut tidak dilandaskan pada falsafah Ketuhanan yang Maha Esa.
"Dari tinjauan filosofinya, RUU PKS seharusnya melandaskan kepada falsafah Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang beradab," ujar Ustaz Jeje kepada Republika.co.id, Kamis (14/2).
Berdasarkan prinsip undang-undang, lanjut dia, RUU PKS harus mempunyai fungsi mengawal dan melindungi agama dan keadaban, atau moral bangsa. Sementara, dalam RUU PKS secara tersirat pengusul hanya ingin melindungi masyarakat dari tindakan kekerasan seksual, tetapi tidak ada spirit untuk melindungi moral-agama.
Ustaz Jeje mengatakan, RUU PKS itu justru kedepannya berpotensi melegalkan pelanggaran norma agama dan norma susila, khususnya yang dilakukan dengan tanpa paksaan alias sukarela. Karena itu, kata dia, RUU yang menjadi polemik itu harus ditolak.
"Oleh sebab itu, draft RUU PKS seperti itu harus ditolak, sampai ada revisi total atas landasan filosofinya kemudian diusulkan RUU baru dengan judul RUU Penghapusan Kejahatan dan Penyimpangan Perilaku Seksual," kata Ustaz Jeje.
Seperti diketahui, Komisi VIII DPR-RI telah menargetkan pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dilakukan usai pemilihan presiden (Pilpres) atau sekitar bulan Mei 2019 mendatang. Saat ini, Komisi VIII DPR masih melakukan dengar pendapat dari berbagai pihak yang kompeten.