Selasa 05 Mar 2019 22:46 WIB

PGI Sambut Baik Soal Putusan NU Soal Istilah Kafir

Istilah kafir cukup di bawa di internal agama.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Muhammad Hafil
Jokowi Terima PGI: Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berbincang dengan dengan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) saat pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Jokowi Terima PGI: Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berbincang dengan dengan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) saat pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Hendriette Hutabarat menyambut baik keputusan Nahdlatul Ulama (NU) untuk tak menggunakan istilah kafir.

"Saya kira ini perkembangan yang kami sambut dengan baik," jelas Hendriette usai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (5/3).

Baca Juga

Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom menambahkan penggunaan istilah kafir sebenarnya terdapat di setiap agama, termasuk di dalam agama Kristen. Namun, menurutnya, istilah ini cukup digunakan untuk internal masing-masing agama dan tak dibawa di ruang publik.

"Tapi istilah kafir ini cukup internal agama, tidak dibawa-bawa ke ruang publik. Jadi ketika menyangkut ruang publik, baiknya kita pakai warga negara," tambah dia.

Ia pun mengaku tak kaget dengan keputusan NU untuk tak menggunakan istilah kafir tersebut. Sebab menurutnya hal itu bukanlah menjadi hal baru bagi NU. Gomar menilai selama ini NU selalu mengedepankan persaudaraan antarmasyarakat.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail yang dinilai penting untuk diketahui masyarakat, terutama bagi warga Nahdliyin. Salah satunya yakni terkait istilah kafir.

Kiai Said mengatakan, berdasarkan hasil Bahtsul Matsail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa. Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim. Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi.

“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar. Tapi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim. Ada tiga suku non-Muslim di sana, tapi tak disebut kafir," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement