Kamis 07 Mar 2019 11:36 WIB

Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi Kecam Penangkapan Aktivis

Robertus Robet dikabarkan ditangkap atas tuduhan menghina TNI.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Robertus Robert
Foto: Republika/ Wihdan
Robertus Robert

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi mengecam penangkapan terhadap Robertus Robet seorang dosen dan aktivis HAM yang ditangkap di rumahnya sekitar pukul 23.45 pada Rabu (6/3) dan dibawa ke Mabes Polri atas tuduhan UU ITE terkait orasi dalam aksi damai Kamisan, 28 Februari lalu. Perwakilan Tim Advokasi Kebebasan Berkespresi, Yati Andriani menilai, ini adalah ancaman kebebasan sipil di masa reformasi.

"Kami memandang, pertama, Robet tidak menyebarkan informasi apa pun melalui elektronik karena yang dianggap masalah adalah refleksinya," kata Yati yang juga merupakan Ketua Kontras dalam pesan singkatnya, Kamis (7/3).

Kedua, sambung dia, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan. Ketiga, TNI jelas bukan individu dan tidak bisa "dikecilkan" menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara.

"Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami menyatakan, penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi. Kedua, oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan," tegas Yati.

Diketahui, alasan penangkapan adalah pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.  Aksi Kamisan tersebut menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil.

Rencana ini jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 dan amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.

Memasukan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada DwiFungsi ABRI pada masa Orde Baru yang telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI.

Yati menegaskan, Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru.

"Pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws) dan sungguh tidak tepat, Pasal 207 KUHP berbunyi "barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan," terangnya.

Bahkan dalam putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya mengatakan, "Dalam masyarakat demokratis yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah)."

Bagian lain putusan tersebut mengatakan "Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana, halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement