REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto untuk menjerat pelaku penyebar hoaks dengan Undang Undang (UU) Terorisme mulai menuai kontroversi. Ahli hukum pidana Teuku Nasrullah menilai langkah tersebut sangat tidak tepat.
"Hukuman pelaku penyebar berita hoaks itu telah diatur dalam Kitab UU hukum Pidana," kata Teuku kepada wartawan, Rabu (20/3).
Teuku menjelaskan, pelaku hoaks hanyalah penyebar berita yang tidak benar. Ia menganggap secara hukum tidak logis dan tidak pada tempatnya jika orang yang menyebarkan berita bohong dianggap sama dengan teroris.
Teuku meminta pemerintah tidak serampangan dalam upaya menegakkan hukum di Republik Indonesia. Menurutnya, akan sangat berbahaya bila penegakkan hukum dilakukan dengan cara panik seperti ini.
"Pemerintah dan penegak hukum itu tidak boleh panik dan tidak boleh berlebihan," ujarnya.
Menurut Teuku, orang harus dihukum sesuai dengan perbuatannya. Pencuri, contohnya, tak bisa dihukum sebagai pembunuh. Lantas, orang yang melakukan penipuan tidak boleh dihukum sebagai pemerkosa.
"Itu tidak nyambung secara hukum," ucap Teuku.
Pelaku penyebar berita bohong, menurut Teuku, harus dihukum sesuai dengan pidana penyebar berita bohong. Ia mengatakan penerapan UU Terorisme pada penyebar hoaks akan memunculkan konsekuensi pelanggaran hukum yang justru dilakukan oleh pemerintah atau penegak hukum.
Ide yang dilontarkan Wiranto itu mengingatkan Teuku pada era Orde Baru. Saat itu, orang bisa dijerat dengan pasal subversif karena kritiknya dianggap bisa merongrong kestabilan ekonomi negara.
"Masak sekarang setelah 20 tahun reformasi penegakkan hukum kembali mundur. Saya menganggap niat pemerintah menerapkan atau menjerat UU terorisme ke pelaku penyebar berita hoax adalah suatu langkah yang panik di bidang penegakkan hukum," ujarnya.
Wiranto menyatakan hoaks merupakan bagian dari tindakan terorisme dan karenanya pelaku bisa dijerat dengan UU Terorisme. Ia mendefinisikan terorisme sebagai suatu tindakan yang menimbulkan ketakutan di masyarakat.
Menurut Wiranto, hoaks yang mengancam masyarakat untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) sudah masih ke dalam pengertian terorisme. Ia menyebutkan, kabar bohong merupakan ancaman baru yang sebelumnya tidak begitu marak pada pelaksanaan pemilu dan keberadaannya dapat mengganggu psikologi masyarakat.