REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ribuan rakyat Inggris menggelar unjuk rasa memprotes Brexit di London. Para pengunjuk rasa itu meminta referendum baru karena semakin memburuk proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa tersebut.
Setelah tiga tahun perdebatan tanpa ujung kini Brexit masih belum pasti bagaimana, kapan dan apakah Brexit benar-benar akan terjadi. Membuat kepemimpinan Perdana Menteri Theresa May dipertanyakan dan terancam digulingkan.
Para pengunjuk rasa menggelar aksinya di pusat kota London. Mereka membawa spanduk yang bertulisan 'kesepakatan terbaik adalah tidak ada Brexit' dan 'kami meminta pemungutan suara rakyat'. Penyelenggara mengatakan 1 juta orang Inggris yang menentang Brexit yang turun ke jalan.
"Saya akan merasa berbeda jika prosesnya dikelola dengan baik dan pemerintah mengambil keputusan yang tepat, tapi proses ini benar-benar kacau," kata salah salah satu pengunjuk rasa Gareth Rae, 59 tahun yang berasal di Bristol, Ahad (24/3).
Rakyat dan politisi Inggris terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang menentangnya dan yang mendukungnya. Tapi kedua belah pihak sepakat Brexit menjadi keputusan strategis paling penting bagi Inggris setelah Perang Dunia II.
"Negara ini akan terpecah apa pun yang terjadi dan akan semakin terpecah dengan kebohongan," tambah Rae.
Ribuan orang yang pro-Uni Eropa berkumpul di Marble Arch di sekitar Hyde Park sebelum mereka berjalan menuju Picadilly Circus dan Trafalgar Square. Mereka melewati kantor perdana menteri di Downing Street dan unjuk rasa itu berakhir di depan kantor Parlemen Inggris.
Unjuk rasa ini lebih besar dibandingkan demonstrasi pada bulan Oktober lalu. Dimana ada 700 ribu orang yang meminta Brexit dibatalkan.
Belum diketahui pasti jumlah pengunjuk rasa yang berpartisipasi. Polisi menolak memberikan perkiran jumlah demonstran kali ini.
Jika memang benar 1 juta orang maka unjuk rasa ini menjadi unjuk rasa terbesar kedua di London setelah unjuk rasa Perang Irak pada tahun 2003. Di mana penyelenggara demonstrasi itu mengatakan hampir 2 juta orang yang berpartisipasi dalam protes anti-perang tersebut.
Sejumlah politisi termasuk anggota Partai Konservatif yang berkuasa turut berpidato dalam unjuk rasa anti-Brexit ini. Di antara wakil Ketua Partai Buruh Tom Watson yang mendukung referendum. Meski ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn bungkam tentang isu ini.
Ketua Partai Nasional Skotlandia Nicola Sturgeon juga ikut berpartisipasi dalam protes anti-Brexit. Seorang remaja berusia 18 tahun Phoebe Poole memegang spanduk 'Never gonna give UE up'. Mengacu pada lagu Rick Astley Never Give Up On You tahun 1980-an. Poole tidak cukup umur saat referendum tahun 2016.
"Kami datang ke sini hari ini karena kami merasa masa depan kami direnggut, kami generasi yang akan hidup dengan konsekuensi bencana ini," kata Poole.
Petisi untuk membatalkan Brexit sudah menjadi 4,39 juta tanda tangan. Tiga hari setelah May mengatakan kepada rakyat Inggris ia ada di pihak mereka dan mendesak Parlemen Inggris mendukung kesepakatan yang ia ajukan.
"Hal ini akan membuat semakin sulit mencari kerja, Anda sudah lihat banyak perusahaan yang pergi, saya khawatir dengan masa depan," kata Poole.
Para pendukung Uni Eropa tidak percaya dengan kata-kata May. Dalam salah satu spanduk di unjuk rasa ini tertulis 'Kamu tidak berbicara untuk kami Theresa'.
Pada bulan 23 Juni 2016 ada sebanyak 17,4 juta orang atau sekitar 52 persen pemilih yang mendukung Brexit. Sementara 16,1 juta orang atau 48 persen lainnya memilih untuk tetap berada di Uni Eropa.
Sejak saat ini penentang Brexit mencari cara agar referendum kedua di gelar. Beberapa jajak pendapat menunjukkan perubahan sikap rakyat Inggris terhadap Uni Eropa. Tapi belum ada bukti pasti perubahan sikap tersebut.