REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PHU) telah disepakati oleh pemerintah dan DPR-RI dalam rapat di Gedung DPR-RI, Jakarta, Senin (25/3) malam. Dengan demikian, RUU tersebut akan dibawa ke rapat paripurna DPR-RI, sehingga dapat disahkan menjadi Undang-Undang.
Terkait itu, ketua panitia kerja (Panja) RUU PHU Sodiq Mujahid menjelaskan, rancangan beleid itu terdiri atas 14 bab dan 132 pasal. Secara umum, setiap bab menerangkan tentang manajemen dan pengaturan jamaah haji reguler dan khusus. Hal lain yang diatur adalah kelompok bimbingan PHU, penyelenggaraan umroh dan ketentuan-ketentuan pidana.
Sodiq meneruskan, DPR juga menambahkan sejumlah gagasan baru ke dalam RUU itu. Misalnya, seperti yang termaktub dalam bab 10 tentang fungsi dan kewenangan Kementrian Agama. “Perubahan mendasar adalah pengaturan dan penguatan Kementrian Agama dalam melaksanakan pengawasan,” ujar Sodiq Mujahid saat menyampaikan hasil laporan Panja RUU PHU di Gedung DPR-RI, Jakarta, Senin (25/3) malam.
Dalam bab tersebut, DPR RI dan DPD juga difungsikan sebagai tim penyelidik penyelenggaraan haji dan umrah. Hal ini dilakukan untuk menguatkan jaminan dan perlindungan hukum bagi jamaah haji dan umrah.
Adapun komposisi dalam tim penyelidik terdiri atas 40 persen dari internal DPR, DPD dan BPIH. Kemudian, 60 persen sisanya dari eksternal, yakni baik Kementerian Agama (Kemenag) maupun lembaga-lembaga terkait. “Fungsinya agar Menag tidak harus bertanggung jawab untuk melapor kepada dua lembaga,” kata Sodiq.
RUU PHU ini juga mengatur jamaah dengan usia lanjut dan difabel sebagai prioritas. Hal lainnya adalah penyediaan limpahan porsi keberangkatan dan daftar tunggu bagi anggota keluarga yang menggantikan seorang calon jamaah ibadah haji jika yang bersangkutan meninggal dunia. “Perlindungan jamaah haji serta kepastian jaminan hukum juga diatur sedemikian rupa agar jamaah haji dan umrah dapat lebih nyaman saat beribadah,” jelas Sodiq.