Senin 29 Apr 2019 08:10 WIB

Ribuan Rakyat Hong Kong Protes Aturan Ekstradisi ke Cina

Undang-undang itu dapat mengancam kebebasan warga Hong Kong yang otonom.

Rep: Lintar Satria/ Red: Budi Raharjo
Salah satu sudut kota Hong Kong.
Foto: Reuters
Salah satu sudut kota Hong Kong.

REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG -- Ribuan rakyat Hong Kong menggelar pawai unjuk rasa ke gedung Parlemen. Mereka meminta undang-undang ekstradiksi yang dapat membuat seseorang diadili di Cina dicabut. Banyak orang yang menilai undang-undang tersebut dapat mengancam kebebasan warga Hong Kong yang otonom.  

Para penentang rancangan undang-undang itu khawatir hak dan perlindungan sipil di jaringan ekonomi terbesar di Asia itu semakin terkikis. Kebebasan warga sipil Hong Kong dijamin dalam perjanjian penyerahan kolonial Inggris ke Cina pada tahun 1997.

Dalam perkiraan awal ada beberapa ribu orang yang bergabung dalam unjuk rasa ini. Mereka berjalan dari Causeway Bay ke gedung dewan di kawasan bisnis Admiralty. Aktivis veteran dan mantan legislator Hong Kong Leung Kwok-hung mengatakan langkah pemerintah membahayakan 'kebebasan rakyat Hong Kong dari ketakutan'.

"Rakyat Hong Kong dan pengunjung yang melewati Hong Kong akan kehilangan hak mereka untuk tidak dapat diekstradiksi ke Cina, mereka akan menghadapi sistem peradilan yang tidak adil di sana," kata Kwok-hung, Ahad (28/4).

Rancangan perubahan undang-undang ini menciptakan kekhawatiran dan protes dari berbagai kalangan. Mulai dari pengusaha-pengusaha besar sampai ke pengacara hak asasi manusia. Beberapa tokoh mapan pun menentang perubahan undang-undang ini.

Gubernur Inggris di Hong Kong yang terakhir Chris Patten juga sudah menanggapi perubahan undang-undang ini. Orang yang menyerahkan Hong Kong ke Cina itu mengatakan langkah tersebut 'melanggar nilai-nilai, stabilitas dan keamanan Hong Kong'.

Kepala Pemerintah Hong Kong Chief Executive Carrie Lam dan pejabat-pejabat pemerintah lainnya mendukung rancangan undang-undang itu. Mereka mengatakan undang-undang ini penting untuk menutupi lubang yang ada selama ini.

Perubahan undang-undang ini membuat pemimpin-pemimpin Hong Kong memiliki hak untuk memerintahkan ekstradiksi buronan yang dicari Cina, Makau dan Taiwan serta negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstadiksi dengan Hong Kong. Sebagai perlindungannya, perintah tersebut dapat digugat dan diajukan ke pengadilan Hong Kong.

Tapi berdasarkan rencana pemerintah perintah ekstradiksi tidak lagi ditinjau oleh dewan seperti sebelumnya. Pemerintah mengatakan tidak ada orang yang beresiko menghadapi hukuman mati, disiksa atau menjadi tahanan politik yang diekstradiksi dari Hong Kong.

Dibawah tekanan pengusaha-pengusaha besar, pemerintah kota Hong Kong mengeluarkan sembilan kejahatan komersial atau ekonomi dari undang-undang baru ini. Rancangan undang-undang ekstradiksi yang baru dapat disahkan pada tahun ini.

Ketika kelompok pro-demokrasi tidak memiliki cukup kursi untuk menghalangi langkah tersebut. Pemerintah Hong Kong berusaha membenarkan langkah ini. Mereka mengatakan hanya dengan undang-undang ini maka seorang pemuda yang membunuh pacarnya di Taiwan dapat dihukum di sana.

Unjuk rasa pada Ahad ini terjadi ketika rakyat juga meminta reformasi pemilu dilakukan lebih dalam lagi. Setelah lima tahun lalu rakyat Hong Kong menuntut kebebasan dalam protes yang dikenal sebagai 'gerakan payung'. Protes yang melumpuhkan kota itu selama 11 hari.

Pada pekan lalu empat orang pemimpin gerakan tersebut divonis penjara. Mereka dihukum antara delapan sampai 16 bulan penjara. Empat orang tersebut termasuk dari sembilan orang aktivis yang dinyatakan bersalah dalam proses pengadilan yang sangat lama.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement