Senin 29 Apr 2019 09:44 WIB

UU Negara Bangsa Israel yang Dinilai Apartheid

Para ahli yang hadir di London sepakat Israel memiliki karakteristik negara apartheid

Suasana sidang parlemen Israel atau Knesset. (ilustrasi)
Foto: Daily Sabah
Suasana sidang parlemen Israel atau Knesset. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Para pakar mengatakan, Undang-Undang Negara Bangsa Israel yang diloloskan pada 2018 menjadi cikal bakal kebijakan apartheid terhadap warga Palestina yang tinggal di Israel. Hal ini disampaikan para pakar yang menggelar konferensi yang mengeksplorasi tantangan 1,8 juta warga Palestina di Israel.

Warga Palestina 20 persen dari total populasi Israel, tapi kini mereka menghadapi diskriminasi yang makin parah. Warga Palestina tersebut akan semakin tertindas setelah Benjamin Netanyahu yang berasal dari sayap kanan kembali terpilih sebagai perdana menteri.

Netanyahu menetapkan fase baru proyek bersejarah mengakhiri 'ancaman demografis' yang ditimbulkan warga Palestina di Israel. Menurutnya, warga Palestina menjadi ancaman untuk mayoritas warga Yahudi.

Kepada Aljazirah, Ahad (28/4), penulis terkemuka tentang Palestina, Jonathan Cook, mengatakan, Undang-Undang Negara Bangsa yang disahkan pada 2018 lalu pada dasarnya meningkatkan kebijakan 'apartheid yang komprehensif'. Ini mencerminkan ketakutan politisi Israel kepada warga Palestina.

Cook mengatakan, para politisi Israel melihat warga Palestina sebagai "kuda Troya" yang mengancam. Penulis yang berdomisili di Nazareth itu mengatakan, undang-undang yang membuat warga Palestina menjadi warga kelas dunia atau membuat Israel menjadi negara apartheid bisa menjadi jebakan.

"Ini menunjukkan Israel negara demokrasi liberal gaya Barat yang normal dihadapan hukum, tapi hukum berbeda sedikit: Israel didirikan sebagai negara apartheid," katanya.

Acara yang digelar oleh Middle East Monitoritu menghadirkan para akademisi dan penulis terkenal dari seluruh dunia. Mereka sepakat kini Israel memiliki karakteristik negara apartheid.

Warga Palestina di Israel makin diperhatikan sejak Undang-Undang Negara Bangsa yang mendeklarasikan Israel sebagai tanah air historis orang Yahudi disahkan pada musim panas tahun lalu. Serta, ketika Netanyahu kembali terpilih lagi menjadi perdana menteri. Ia berjanji kembali mencaplok Tepi Barat yang selama ini masih berstatus tanah pendudukan. Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur dalam Perang 1967.

"Undang-undang Negara Yahudi tidak memiliki visi negara, akan ada aneksaksi dan itu bisa kami lihat dengan apa yang terjadi di lapangan," kata pengacara hak asasi manusia dari Legal Centre for Arab Minority Rights, Suhab Bishara.

Cook mengatakan, Zionis Israel berupaya untuk menutup-nutupi perla kukan buruk mereka terhadap warga Palestina dengan bahasa demokrasi liberal. "Undang-undang itu mungkin membantu kami, memperjelas seperti apa sebenarnya negara Israel itu," katanya.

Para pembicara membahas kebijakan apartheid yang mendiskriminasi warga Palestina melalui berbagai aspek, mulai dari isu sosial, ekonomi, hukum, dan geografi. Di bawah undang- undang 1950, banyak dari warga Palestina yang dinyatakan sebagai 'Present Absentees' yang membuat mereka dapat memiliki tanah dan properti.

Profesor dari Ben-Gurion University Oren Yiftachel membandingkan antara apartheid Israel dengan apartheid Afrika Selatan. Pemerintah apartheid Afrika Selatan membuka Bantustans yang menjadi wilayah Kulit Hitam.

Sementara, Undang-Undang Negara Bangsa membuka tahapan baru bagi Israel memproses permukiman kolonial yang menurut Yiftachel akan memperdalam apartheid. "Apartheid, tentu ilegal. Ini kejahatan perang, ini kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Yiftachel.

Ia memetakan proses 'Yahu disasi', di mana pemerintah Israel mengambil alih tanah leluhur orang Palestina. Ia mengatakan, Undang-Undang Negara Bangsa ini membuat Yahudisasi legal di mata hukum dan menciptakan hierarki warga negara seperti apartheid yang terjadi di Afrika Selatan.

Mazen Masri dari City University mengeksplorasi strategi hukum Israel yang kini tercantum di undang- undang yang mendiskriminasi warga Palestina. Ia mengatakan, berbagai strategi hukum yang diskriminatif sudah ada sebelumnya.

"Masalah utama dalam Undang-Undang Negara Bangsa sebenarnya bukan pada etnoreligius dan prinsip-prinsip eksklusif yang inheren dan juga bukan pada pengukuhan sifat dan kebijakan kolonial Israel, masalah utamanya adalah ini tindakan yang menunjukkan Israel lebih dekat pada apar theid daripada demokrasi," kata Masri.

photo
Ratusan personil militer zionis Israel, Jumat (30/3), berkumpul di sekitar perbatasan dengan peralatan militer lengkap.

Politisi Israel yang berasal dari komunitas Palestina Dr Yousef Jabareen mengatakan, ia sudah berbicara dengan majelis rendah di parlemen Israel, Knesset. Ia juga sudah mendengar pernyataan rasis politisi lain yang menggambarkan warga Palestina sebagai kolom kelima (pengkhianat) dan warga inferior.

"Dasar demokrasi adalah persamaan hak dan persamaan kewarganegaraan dan bagi warga Palestina ini telah dilanggar selama 70 tahun, Undang-Undang Negara Bangsa mengulang hal ini, membuka pintu untuk kebijakan dan alat penindasan lebih buruk lagi," katanya.

Dilansir dari Middle East Monitor, Jabareen mengatakan, berpartisipasi di dalam Knesset menjadi alat yang penting untuk melakukan perubahan efektif. Ia menekankan tidak berarti angka partisipasi warga Palestina dalam pemilu terakhir membuat komunitas itu berpaling dari politik. (lintar satria/reuters ed:yeyen rostiyani)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement