Rabu 01 May 2019 07:14 WIB

Operator Situng, dari Dedikasi Hingga Intimidasi

Para operator Situng dan verifikator pulang tengah malam dan tidur empat jam sehari

Relawan mengentri data dan pindai form C1 hitung cepat berbasis aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) Pemilu tahun 2019 KPU Se-Provinsi DKI Jakarta, Sabtu, (20/4).
Foto: Republika/Prayogi
Relawan mengentri data dan pindai form C1 hitung cepat berbasis aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) Pemilu tahun 2019 KPU Se-Provinsi DKI Jakarta, Sabtu, (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kertas-kertas terlihat menumpuk di pojok suatu ruangan berdinding cokelat. Sekelompok orang bekerja merapikan kertas-kertas itu ke dalam kardus yang sudah setengah terisi. Mereka adalah orang-orang yang hasil kerjanya belakangan ini menjadi sorotan publik yaitu para operator yang memasukkan data di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.

Selasa (30/4) siang itu, Waldy Rochman termasuk ke dalam kelompok operator penginput data Situng Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta Timur yang tengah bertugas. Bisa dibilang dia berpengalaman menjadi petugas penghitungan suara Pemilu. Dia sudah bertugas sejak Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Baca Juga

"Setiap pemilu saya terlibat. Saat Pemilu 2014, lalu saat pemilihan gubernur. Sebelumnya saya jadi Relawan Demokrasi KPU Jaktim mengajak orang tidak golput. Lalu lanjut daftar buat yang masukkan data C1," ujar warga asli Dukuh itu saat ditemui di Kantor KPU Jakarta Timur.

Menurut Waldy menjadi operator input data peristiwa penting laiknya Pemilu dan Pilkada bukanlah beban namun pekerjaan yang menyenangkan dan harus dinikmati. Ia menikmati pekerjaan tersebut meski kadang pulang tengah malam untuk memasukkan data dan memindai formulir C1.

"Saya pribadi senang dengan hal seperti ini. Jadi tidak dijadikan beban. Diambil enjoy saja. Rasanya tidak akan terlalu lelah. Walaupun saya sering menerima intimidasi di Whatsapp," kata pria yang sebetulnya berprofesi sebagai instruktur lepas di Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri, Pasar Rebo.

Ia lalu menunjukkan pesan singkat di ponselnya. Isi pesan-pesan itu menuduh petugas yang memasukkan data ke Situng tidak netral dan berat sebelah. Maksudnya, mereka dituduh membela salah satu pasangan kontestan yang berlaga pada Pemilu 2019.

Menurut dia, tugas operator Situng adalah memasukkan data secara apa adanya ke situs KPU tanpa mengubah angka. Operator tak boleh mengubah angka meski petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dianggap sering memasukkan angka-angka ke kolom yang salah.

Waldy mengatakan sudah beberapa kali menerima pesan mengintimidasi dan mengejek lewat aplikasi pesan singkat. Tetapi dia bertekad ingin berkepala dingin. Waldy membalas pesan dengan meminta pengirimnya melapor jika memiliki bukti kecurangan, bukan hanya berkomentar di media sosial.

"Kenapa saya berani bilang begitu, karena saya yakin kami sudah bekerja sesuai aturan, prosedur, dan kami netral," katanya.

Pesan-pesan intimidasi itu tidak memudarkan semangat Waldy menjadi operator Situng dan cita-citanya untuk terlibat dalam pesta demokrasi berikutnya. "Yang penting itu dinikmati. Dibawa senang saja menjalani prosesnya. Mungkin karena saya suka, ingin lagi terlibat seperti ini," ujarnya.

Prinsip menikmati pekerjaan sebagai operator Situng juga dipegang Ria Fenty, mahasiswi jurusan Ilmu Sosial Politik di Universitas Negeri Jakarta. Mahasiswi tingkat akhir itu juga menikmati tugas menjadi operator walau perasaanya sempat terganggu karena di media sosial banyak dibicarakan kesalahan penyelenggara Pemilu 2019 dalam memasukkan data.

Kritikan di medsos membuat dia semakin berhati-hati dalam memasukkan data. "Berbeban tidak. Tapi semenjak ada yang viral sekarang jadi lebih berhati-hati. Namanya juga manusia pasti ada kesalahan," ujarnya.

Karena kehebohan di media sosial itu, Ria sering menerima pesan dari teman dan keluarga yang memperingatkan untuk semakin berhati-hati."Mereka tanya kok bisa salah masukkan data? Ada banyak juga yang kirim pesan untuk lebih hati-hati. Itu juga wajar karena bisa dibilang tanggung jawabnya besar," kata dia.

Waldy dan Ria termasuk dalam kelompok berjumlah 45 orang yang ditugaskan untuk memasukkan data TPS Jakarta Timur, daerah dengan jumlah TPS terbanyak di DKI Jakarta. Jakarta Timur memiliki 8.234 TPS yang mencakup 2.246.279 orang sebagaimana terdapat dalam Daftar Pemilih Tetap.

Selain operator, salah satu petugas yang berperan penting untuk data Situng adalah verifikator yang bertugas mencocokkan data dengan gambar C1 yang dipindai. Tito adalah salah satu verifikator yang bekerja di KPU Jakarta Timur.

Bersama sembilan petugas verifikasi lain dia bekerja dari pagi hingga malam memastikan semua data sesuai dengan yang diberikan kepada pelaksana pemilu. "Kami di (Jakarta) Timur punya delapan ribu lebih TPS. Kita harus masukkan tiga jenis formulir. Verifikator harus memeriksa semuanya. Sudah biasa itu lelah mata," katanya.

Menurut Tito, kesalahan sering terjadi karena faktor kelelahan fisik dan masalah teknis meski sudah menerima empat bimbingan teknis dari KPU, bukan karena kesengajaan. "Kendala kami itu, server yang masih lemah karena ini dari seluruh Indonesia dan kadang-kadang, namanya juga manusia, ada operator yang salah memasukkan data," kata Tito.

Jakarta Timur adalah daerah berpenduduk terpadat di Provinsi DKI Jakarta dengan total 2.843.816 jiwa, menurut data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta pada 2017. Jumlah masif itu membuat proses penghitungan suara secara manual dan memasukkan data ke situs KPU bukanlah hal yang mudah. Demikian disampaikan Ketua KPU Jakarta Timur Wage Wardana.

Kesalahan, menurut dia, memang terjadi tapi tidak sebesar yang diviralkan di media sosial dan pemberitaan sensasional. "Kami tidak menutup mata bahwa administrasi di TPS masih ada yang kurang baik. Tapi tidak mengesampingkan kinerja yang bagus. Satu TPS membuat kesalahan tapi 8.233 TPS lain bagus, yang diperbesar pasti yang satu," ujar Wage.

Menurut Wage, penyelenggara pemilu di Jakarta Timur berusaha keras memenuhi jadwal KPU pusat untuk menyelesaikan rekapitulasi manual di 10 kecamatan dan 65 kelurahan di daerah tersebut sebelum pengumuman hasil pemilu pada 22 Mei 2019.

Untuk memenuhi target tersebut, petugas-petugas di lapangan sudah berusaha semaksimal mungkin, bahkan sampai rela kurang tidur demi menyelesaikan rekapitulasi manual. "Rata-rata mereka tidur paling tiga sampai empat jam sehari. Bayangkan, daerah paling padat Kecamatan Cakung itu memiliki hampir 400 ribu orang dan hanya ada empat petugas yang mengurus 1.461 TPS," katanya.

Namun menurut Wage sebagian besar petugas tetap menjalankan tugas karena rasa pengabdian untuk daerah asal dan negara bukan karena ingin mencari uang. "Kalau untuk mencari uang mereka tidak akan mau jadi petugas. Hanya karena jiwa pengabdian dan terpanggil untuk negara," katanya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement