REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto - Sandiaga Uno menyatakan tak berniat melakukan pengerahan massa people power yang bernuansa makar. BPN merasa tidak akan melakukan tidak akan melakukan tindakan yang menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian bakal melanggar pidana.
"Yang disampaikan oleh Kapolri itu kan secara umum kepada yang dituduhkan atau yang diperkirakan untuk membuat situasi seperti itu. Kalau kami kan dari pihak 02 tidak merasa yang dituduh, karena kami tidak merencanakan hal seperti itu," kata Direktur Hukum dan Advokasi BPN, Sufmi Dasco Ahmad di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (8/5).
Dasco menjelaskan, petunjuk Prabowo telah jelas bahwa langkah yang diambil massa pendukungnya harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. "Sehingga kami anggap omongan kapolri itu bukan ditujukan kepada kami, tapi lebih kepada menyikapi situasi," kata dia.
Dasco menyatakan, pihaknya tidak akan melakukan aksi-aksi yang bermuara penggulingan kekuasaan atau makar. Justru, kata Dasco, saat ini BPN melakukan tindakan konkret melaporkan segala dugaan kecurangan yang merugikan Paslon 02 kepada Bawaslu.
Sebelumnya, Tito Karnavian menegaskan akan menidak tegas pelaku mobilisasi massa people power yang mengancam pemerintahan. Tito menjelaskan, unjuk rasa, misalnya dalam hal memprotes hasil pemilu dapat dilakukan sebagai bentuk penyampaian pendapat.
Unjuk rasa itu diatur dalam UU nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Mekanisme unjuk rasa Juga diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 7 tahun 2012.
"Kalau tidak menggunakan mekanisme ini, apalagi kalau ada bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu pasal 107 KUHP jelas. Ini adalah undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Itu bahasanya jelas. Yaitu perbuatan untuk menggulingkan pemerintah yang sah, maka ada ancaman pidananya," kata Tito di Gedung Nusantara V, DPD RI, Jakarta (7/5).
Pasal 107 KUHP ayat pertama berbunyi, Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Kemudian, pasal ayat kedua pasal tersebut menyatakan, pemimpin dan pengatur makar tersebut diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Tito menegaskan, kepolisian tidak akan segan menerapkan pasal tersebut bila unjuk rasa memprotes hasil pemilu justru mengarah pada upaya penggulingan pemerintahan yang sah. "Kalau ternyata memprovokasi, atau menghasut untuk melakukan upaya pidana, misalnya makar, itu pidana," kata Jenderal Bintang Empat itu.