REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian diminta untuk menyelesaikan kasus terkait peristiwa 21-22 Mei dengan jujur, transparan, dan akuntabel. Kepolisian juga harus mencegah terjadinya perusakan barang bukti.
"Kasus tewasnya delapan orang selama kerusuhan tanggal 21-22 Mei ini masih belum bisa dijelaskan dengan terang, baik sisi penyebab kematian, aktor yang menembak korban dan senjata yang digunakan, dan status korban, apakah peserta aksi atau bukan," ungkap Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, di kantornya, Jakarta Pusat, Ahad (2/5).
Yati menyebutkan, untuk pengungkapan kasus penembakan tersebut kepolisian harus menyelesaikannya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Kepolisian juga harus jujur, transparan serta akuntabel, termasuk mencegah terjadinya perusakan barang bukti yang dapat mengaburkan dan menghambat penyelidikan dan penyidikan kasus.
"Ketiga, kepolisian menjamin hak-hak keluarga koban penembakan dalam mengupayakan keadilan atas kasus ini," jelasnya.
Yati juga menerangkan, terdapat dugaan keras bahwa sebagian dari para tersangka yang ditangkap merupakan korban salah tangkap. Alasannya beragam, ada yang karena hanya sekedar melihat aksi yang tiba-tiba menjadi rusuh, motor mogok, dan berbagai alasan lainnya.
Menurutnya, dengan dugaan ada pemaksaan mereka untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan, peluang untuk bebas dari hukuman menjadi semakin kecil.
Ia menuturkan, kepolisian harus memberikan kesempatan bagi orang-orang yang ditangkap untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Itu bisa dilakulan dengan membuka akses mereka terhadap keluarga maupun bantuan hukum.
"Tanpa dibukanya akses tersebut, maka peluang terjadinya miscarriage of justice menjadi tidak terhindarkan. Akan ada banyak orang tidak bersalah yang dihukum," ujar dia.