REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan kebijakan ekstradisi di Hong Kong wajib menjunjung tinggi hak asasi dan kebebasan. Apalagi hal itu tercantum dalam perjanjian Sino-Inggris pada 1984.
"Tentu sangat penting untuk kebijakan ekstradisi di Hong Kong sejalan dengan hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam deklarasi bersama Sino-Inggris," kata May.
May mengutarakan kegundahannya di hadapan parlemen Inggris. Ia resah kebijakan ekstradisi bakal berpengaruh pada warga Inggris disana.
"Kami khawatir dengan dampak dari kebijakan ini. Secara jelas banyak sekali warga Inggris yang saat ini ada di Hong Kong,” kata May dalam rapat bersama parlemen.
Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan tak akan membatalkan RUU Ekstradisi yang kontroversial meskipun ada protes massal yang dihadiri ratusan ribu orang. Ia menilai, RUU itu justru memberikan manfaat bagi wilayah eks-koloni Inggris itu.
Pada Ahad, 9 Juni 2019, ratusan ribu orang berunjuk rasa menentang Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019 yang dikhawatirkan bisa memungkinkan Cina meminta ekstradisi lawan politik di wilayah tersebut dan membawanya untuk diadili di Cina.
"Saya tak pernah punya rasa bersalah dengan urusan ini. Saya hanya katakan niat kami berada di jalan yang benar," kata Lam.
Lam menilai tak mungkin menghapus segala keraguan dan kontroversi akan kebijakan tersebut sehingga ia bakal terus melanjutkannya. Perdebatan kebijakan tersebut di tingkat parlemen mengalami penundaan. Diperkirakan mayoritas anggota parlemen tak setuju aturan itu.