REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menerapkan empat komponen fasilitas pengolahan yang berfungsi menekan volume sampah eksisting di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Volume sampah di TPST tersebut kini berkisar 26 juta meter kubik.
"Sebanyak 26 juta meter kubik sampah DKI Jakarta ini merupakan akumulasi jumlah yang terkumpul sejak 1989 hingga 2019 di TPST Bantargebang," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPST Bantargebang Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (21/6).
Fasilitas pertama adalah pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif refuse derived fuel (RDF) yang bermanfaat sebagai pengganti batu bara. Sejak proyek tersebut dikerjasamakan dengan produsen semen PT Holcim pada 20 Januari 2019, tahap pertama baru difokuskan pada satu dari total lima zona sampah TPST.
"Tahap awal penambangan sampah ini baru dilaksanakan di Zona IV B2 TPST seluas 1,9 hektare dari total keseluruhan luas landfill TPST 81,3 hektare," katanya.
Proses produksi RDF dilakukan dengan mengeruk sampah eksisting, dipilah dengan mesin ayak untuk memisahkan kompos, logam dengan non-organik. "Komposisi sampah yang datang setiap hari dari rata-rata 7.500 ton sampah DKI, sebanyak 33 persennya berjenis plastik, sisanya organik dan logam," ujarnya.
Pekerja mengangkut kompos yang sudah difasilitas mesin pengomposan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Menurut Asep, plastik yang tertimbun sampah lalu dikeringkan memiliki tingkat kalori yang tinggi untuk kebutuhan produksi RDF oleh PT Holcim. Fasilitas tersebut ditargetkan mampu menekan volume sampah eksisting hingga 1.000 ton per hari.
Bila seluruh volume sampah di zona tersebut telah seluruhnya hilang, Zona IV B2 akan difungsikan menjadi Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) keempat di lingkungan TPST. Fasilitas selanjutnya adalah teknik pengomposan untuk mengurangi sampah jenis organik seperti daun, sayur, ranting dan sejenisnya menjadi pupuk.
Terdapat lima langkah mekanisme komposting. Pertama, sampah organik yang diterima diaduk menggunakan alat berat secara berkala selama 30 hari. Pemilahan dilakukan dari material non-organik hingga terkumpul serbuk bahan kompos.
"Kemudian diproses menjadi butiran atau granule untuk dikeringkan dalam waktu yang telah ditentukan. Setelah kering, granul dikemas untuk didistribusikan," ujarnya.
Asep mengatakan kapasitas produksi kompos saat ini baru berkisar 40 ton per hari. Fasilitas ketiga adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan kemampuan produksi listrik berkisar 400 KWh dari 100 ton pembakaran sampah.
Sejumlah pekerja mengangkut sampah plastik (non organik) saat pegolahan sampah pasar dengan fasilitas mesin pengomposan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
PLTSa adalah kerja sama Pemprov DKI dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang bergulir sejak 25 Maret 2019 di sisi selatan TPST. Area produksi listrik berbahan bakar sampah itu layaknya sebuah pabrik yang memiliki bermacam alat produksi pembakaran sampah berteknologi termal yang mengolah sampah secara cepat dan ramah lingkungan, serta menghasilkan produk samping listrik.
Proyek percontohan PLTSa itu dibuat kompak dan tertutup rapi untuk mengubah citra pengolahan sampah yang semula kumuh menjadi lebih baik. Asep menambahkan, memiliki rencana ke depan berupa realisasi pembangunan sampah ke energi sebanyak tiga hingga empat unit untuk menghabiskan total 20 juta meter kubik sampah.
"PLTSa sekarang masih dimiliki oleh BPPT karena dalam fase pendampingan operasional. Rencananya pada 2020 akan menjadi aset Pemprov DKI," katanya.
"Fasilitas terakhir adalah Intermediate Treatment Facility (ITF) berupa kantong-kantong sampah berkapasitas 20 ribu ton yang saat ini proses realisasinya sedang diintensifkan," katanya.