REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) memutuskan tidak dapat menerima gugatan dugaan pelanggaran administrasi pemilu (PAP) yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 pada Pemilu 2019. Dalam pertimbangannya, MA menyatakan tidak berwenang mengadili objek sengketa.
"Menyatakan permohonan dari pemohon tidak diterima. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1 juta," begitu bunyi putusan dalam ringkasan putusan yang diberikan Ketua Bidang Hukum dan Humas MA, Abdullah, Selasa (16/7).
Abdullah menjelaskan, putusan MA No 2/PAP/2019 ini bukan menyatakan menolak permohonan. Putusan tidak diterima berbeda dengan menolak permohonan.
Putusan tidak diterima berarti ada syarat formal yang tidak terpenuhi dalam pengajuan permohonan tersebut. "Dari aspek syarat formal tidak terpenuhi. Majelis belum sampai memeriksa substansi permohonan," ujarnya.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Agung Supandi menyatakan, objek permohonan I, yakni Putusan Pendahuluan Ba waslu No 01/LP/PP/ADM.TSM/RI/-00.00/V/2019 tang gal 15 Mei 2019, telah diputus MA. Putusan No 1/P/PAP/2019 tanggal 26 Juni 2019 lalu telah menyatakan permohonan pemohon tidak diterima. "Sehingga terhadap obyek permo honan ini tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan,"ujar majelis hakim dalam ringkasan putusan tersebut.
Kemudian, terhadap objek permohonan II, yakni Ke putusan KPU RI No 1131/LP/PP/ADM.TSM/RI/- 00.
00/V/2019 tanggal 15 Mei 2019 lalu, majelis hakim menilai objek permohonan tersebut tidak tepat untuk di persoalkan melalui sengketa PAP. Hal itu karena objek PAP berupa pembatalan penetapan pasangan calon. "Dengan demikian, MA tidak berwenang mengadili objek sengketa a quo. Untuk itu, permohonan pemohon harus dinyatakan tidak diterima," ujar majelis hakim.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Ed ward Siregar, menilai putusan MA sudah tepat. Pasalnya, putusan tersebut telah meneguhkan peran pengawas pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran administrasi pemilu (PAP) yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). "Saya rasa itu (putusan MA soal Prabowo-Sandi) adalah suatu peneguhan dari MA juga soal bagaimana konsekuensi dan peran Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran TSM," ujar Fritz di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (16/7).
Fritz mengatakan, MA telah memutuskan tidak berwenang mengadili permohonan Prabowo-Sandiaga soal pelanggaran administrasi yang bersifat TSM. Putusan tersebut juga menegaskan bahwa tidak ada dasar bagi paslon 02 itu untuk menggugat ke MA. "Substansi per soalannya sampai dengan putusan kemarin. MA sudah teguh kepada yurisdiksi yang dimiliki. Siapa yang seharusnya melakukan penanganan pelanggaran administrasi dan juga apakah MA berwenang untuk menanganinya pelanggaran administrasi yang TSM, dan juga apakah ada putusan KPU soal pembatalan,"kata Fritz menegaskan.
Sementara itu, kuasa hukum Prabowo-Sandi, Nicholay Aprilindo, menilai putusan tersebut lebih dominan bernuansa politis. "Apalagi, setelah pertemuan pemohon prinsipal, dalam hal ini Prabowo, dengan Jokowi maka segala permasalahan menyangkut pemilu presiden 2019 berikut dampaknya dianggap selesai walaupun masih banyak tersisa permasalahan-per masalahan hukum sebagai akibat dari perbuatan kecu rangan TSM yang belum terselesaikan," kata Nicholay, Selasa.
Kendati demikian, dirinya sebagai kuasa hukum tetap akan menghormati putusan MA tersebut. Ia mengaku belum menerima salinan putusan tersebut. "Kami selaku kuasa hukum belum menerima salinan putusan MA yang menyatakan tidak dapat diterima atau 'N.O.'tersebut sehingga saya belum dapat mengkaji lebih dalam isi dari putusan MA tersebut," ujarnya. (arif satrio nugroho/dian erika nugraheny/febrianto adi saputro ed: agus raharjo)