Rabu 17 Jul 2019 19:15 WIB

Amnesty Nilai TPF Polri Gagal Ungkap Penyerang Novel

Laporan TPF tidak memberikan harapan baru pengungkapan kasus Novel Baswedan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Kadiv Humas Polri Irjen Pol M Iqbal bersama tim gabungan pencari fakta (TGPF) Kasus Novel Baswedan memberikan keterangan pers tentang hasil investigasi TGPF kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan di Mabes Polri, Jakarta,Rabu (17/7).
Foto: Republika/Prayogi
Kadiv Humas Polri Irjen Pol M Iqbal bersama tim gabungan pencari fakta (TGPF) Kasus Novel Baswedan memberikan keterangan pers tentang hasil investigasi TGPF kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan di Mabes Polri, Jakarta,Rabu (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil alih penuntasan kasus Novel Baswedan dengan membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF). Amnesty menilai, tim pencari fakta (TPF) pengusutan penyiraman air keras terhadap penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bentukan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian tersebut gagal mengungkap pelaku.

Manajer Kampanye Hak Asasi di Amnesty Puri Kencana Putri menilai, enam bulan kerja TPF Polri terbukti gagal. Alih-alih membuat kasus penyerangan terhadap Novel menjadi terang benderang dengan terungkapnya pelaku dan aktor intelektual, kata Puri, laporan investigasi yang dipublikasikan TPF bersama Polri, Rabu (17/7), tak mampu memberikan harapan baru dalam pengungkapan kasus tersebut.

Baca Juga

Bahkan, menurut Putri, laporan TPF menambah ketidakadilan baru bagi Novel yang menjadi korban brutalisme kelompok yang tak sanggup diungkap kepolisian. “Presiden Jokowi harus secara proaktif dan segera mengambil inisiatif membentuk TGPF independen setelah tim yang dibentuk Polri (TPF) gagal mengungkap pelaku penyerangan,” kata Puri dalam rilis resmi kepada Republika di Jakarta, Rabu (17/7).   

Amnesty pun melihat kejanggalan dalam laporan TPF dan Polri. Menurut Puri, TPF dan Polri dalam konfrensi pers laporan hasil investigasi enam bulan mengatakan salah satu motif serangan, lantaran dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Novel sebagai penyidik di KPK dalam satu kasus korupsi. Menurut Puri, motif tersebut rancu.

Karena, TPF dan Polri yang tak mampu menemukan pelaku penyerangan, akan tetapi menebalkan siraman air keras ke muka Novel sebagai dampak dari kewenangan yang berlebihan tersebut. Kerancuan lainnya, kata Puri menyangkut ungkapan TPF dan Polri yang mengatakan serangan terhadap Novel tak dimaksud untuk membunuh. Melainkan, hanya sebagai aksi memberikan penderitaan terhadap Novel.

“Pernyataan itu mendegradasikan keseriusan penyerangan yang dialami Novel, menjadi kasus yang biasa saja,” ujar dia.

Ia menegaskan, penyerangan terhadap Novel bukan perkara biasa. Melainkan, serangan terhadap KPK yang diandalkan masyarakat dalam pengentasan korupsi di Tanah Air.

“Sekarang ini, publik menanti apakah masih ada political will (kemauan) dari Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus Novel,” ujar Puri.

Sebab, ia mengingatkan, dalam dua tahun terakhir, Presiden Jokowi kerap tak menggubris pembentukan TGPF independen, dengan meyakinkan masyarakat untuk memercayakan pengungkapan kasus Novel kepada Polri dengan restu pembentukan TPF. Namun, kata dia, TPF yang dibentuk oleh Polri terbukti gagal meyakinkan publik dalam pengungkapan siapa pelaku dan dalang dibalik penyerangan terhadap Novel.

“Presiden Jokowi tak boleh tinggal hanya diam,” ungkap dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement