Jumat 19 Jul 2019 03:32 WIB

Ribuan Demonstran Sudan Turun ke Jalanan

Pengunjuk rasa dan penguasa militer sepakat ihwal pembagian kekuasaan.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Teguh Firmansyah
Pengunjuk rasa di Sudan menentang dewan militer di Khartoum.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Pengunjuk rasa di Sudan menentang dewan militer di Khartoum.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Ribuan demonstran Sudan berkumpul di sebuah lapangan terkemuka di Khartoum, Kamis (18/7). Mereka berpawai di jalan ibu kota untuk menghormati kawan-kawan yang terbunuh dalam gerakan protes berbulan-bulan.

Demonstrasi datang sehari setelah para pemimpin protes dan penguasa militer menandatangani kesepakatan pembagian kekuasaan untuk membentuk badan sipil-militer bersama. Badan itu itugaskan untuk membentuk pemerintahan sipil dan permintaan utama para demonstran.

Baca Juga

Saksi mata mengatakan pria, wanita dan anak-anak sekolah mengibarkan bendera Sudan saat mereka menuju Green Yard dari berbagai bagian ibukota. Para demonstran meneriakkan slogan-slogan yang telah menjadi seruan kuat dari pemberontakan yang menyebabkan penggulingan Omar al-Bashir.

"Demonstrasi itu merupakan penghargaan bagi para martir terhormat dari revolusi Desember," kata Asosiasi Profesional Sudan dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Channelnewsasia.

Saksi menyebut, polisi anti huru hara menembakkan gas air mata untuk membubarkan sebuah demonstrasi di sebuah stasiun bus pusat di pusat kota Khartoum. "Para pengunjuk rasa yang bubar berusaha memobilisasi lagi dan melanjutkan demonstrasi. Ini seperti permainan kucing dan tikus di antara mereka," kata seorang saksi mata.

Salah satu saksi mengatakan banyak orang yang tiba di Lapangan Hijau menangis ketika mereka meneriakkan slogan-slogan untuk menghormati mereka yang terbunuh dalam protes.

"Kami di sini untuk mempertahankan tuntutan kami karena dewan militer tidak menanggapi tuntutan kami. Kami tidak akan menyerah," kata Shaima Ahmed, ketika kerumunan pengunjuk rasa tiba di belakangnya.

SPA mempelopori kampanye awal perlawanan terhadap pemerintah Bashir pada Desember lalu atas keputusannya untuk menaikan harga roti. Protes-protes itu dengan cepat meningkat menjadi gerakan nasional yang menyebabkan tentara menggulingkan Bashir.

Tetapi para pengunjuk rasa terus menekan setelah jatuh bersatu melawan dewan militer yang menggantikan Bashir. Lebih dari 200 orang tewas sejak Desember dalam kekerasan terkait protes.

Ketegangan antara para jenderal dan pengunjuk rasa melonjak setelah serangan 3 Juni  2019 terhadap aksi duduk Khartoum selama berminggu-minggu yang menewaskan puluhan demonstran.

Akhirnya, para pemrotes dan jenderal  menyetujui kesepakatan yang membuka jalan ke pemerintahan sipil transisi yang akan memerintah hanya selama tiga tahun.  "Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan telah membuat terlalu banyak konsesi. Kami meminta mereka untuk tidak membuat konsesi lagi," kata pengunjuk rasa, Safaa Mudawi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement