REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH— Pemerintah Aceh menyatakan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada, Senin 15 Agustus 2005 bisa menjadi model penyelesaian konflik yang terjadi diberbagai negara di belahan dunia.
“Tidak sedikit para peneliti dunia menjadikan Aceh sebagai laboratorium untuk mempelajari konflik dan perdamaian," kata Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pemerintahan Hukum dan Politik, Rahmat Fitri.
Pernyataan ini disampaikannya ketika membuka acara pelatihan bertema "Training On Peace Process" yang dihadiri Dubes RI untuk Myanmar Prof Iza Fadri dan Delegasi Joint Ceasefire Monitoring Committe (JMC) Myanmar U Ko Ko Gyi beserta rombongan di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Rabu (24/7).
Menurut dia, keberhasilan perdamaian di Aceh belum seutuhnya selesai dan masih banyak tantangan yang terus dihadapi, seperti masalah politis, sosial maupun finansial.
Pemerintah Aceh bersama pihak terkait lainnya melakukan berbagai terobosan guna memperkuat pemahaman masyarakat tentang makna perdamaian di Bumi Serambi Makkah. "Dengan memahami makna inti perdamaian, kita berharap Aceh terus berkembang menjadi daerah makmur dengan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik," ujar Rahmat.
Pembangunan perdamaian, kata dia, lebih berorientasi kepada upaya membuat fondasi semakin kondusif agar pembangunan berjalan lebih baik lagi. Kemudian, semangat memperkuat perdamaian juga terkait dengan kepatuhan terhadap hukum, pemberdayaan ekonomi, dan menciptakan iklim investasi yang sehat.
"Oleh karena itu, sejalan dengan training on peace process yang kita laksanakan ini, saya berharap fokus utamanya menitik beratkan pada penguatan perdamaian untuk pembangunan," tuturnya.
Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Prof Iza Fadri, mengatakan sebagai negara sahabat dan juga negara yang sudah berpengalaman menyelesaikan konflik, maka Indonesia memiliki peran dalam mendukung rekonsiliasi nasional dan proses perdamaian di Myanmar.
“Kengiatan ini bertujuan untuk menyediakan platform peningkatan kapasitas di bidang negoisasi proses perdamaian, resolusi konflik, dan program rekontruksi pasca konflik,” kata Iza Fadri.
Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan GAM pada 15 Agustus 2005 di Helsingki Firlandia semua pihak terus membangun kerja sama yang konstruktif untuk perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
“Saat ini Aceh sebagai model yang baik bagi resolusi konflik, proses perdamaian di Aceh menawarkan pelajaran yang sangat berharga bagi negara yang terkena dampak konflik, termasuk Myanmar," tambah dia.