Jumat 26 Jul 2019 15:29 WIB

BI Optimistis Imbal Hasil Investasi Masih Menarik

Naik-turun rupiah terhadap dolar AS didorong faktor teknikal, bukan fundamental.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Pekerja menunjukkan uang Rupiah dan Dollar Amerika Serikat di sebuah tempat penukaran uang di Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Pekerja menunjukkan uang Rupiah dan Dollar Amerika Serikat di sebuah tempat penukaran uang di Jakarta, Kamis (28/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah masih berpeluang mengalami penguatan. Salah satu faktor pendorong mengalirnya arus modal asing sebesar Rp 192,5 triliun per 25 Juli lalu. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar rupiah masih mampu menunjukkan premi risiko masih rendah dan imbal hasil investasi di Indonesia masih menarik.

Baca Juga

"Nilai tukar masih bergerak stabil. Faktor-faktor aliran modal asing, faktor positif. Premi risiko kita rendah. Jadi, imbal hasil masih cukup menarik," ujarnya kepada wartawan di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (19/7).

Menurutnya saat ini nilai tukar rupiah masih dalam keadaan stabil. Setidaknya, aliran masuk masih masuk dan kebijakan masih teruji kredibilitasnya, sehingga imbal hasil masih menarik.

"Supply dan demand di Indonesia juga terus beredar di pasar Indonesia sehingga mekanisme dipastikan berjalan baik. Importir yang butuh dolar tidak 'nubruk-nubruk' karena yakin nilai tukar stabil," ucapnya. 

Pada pembukaan perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh level Rp 14.000 per dolar AS. Dari sisi eksternal, menurut Perry, naik turun nilai tukar rupiah juga merespons apa yang terjadi di global, baik di Amerika Serikat dan Eropa. 

Salah satunya, keputusan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang mempertahankan suku bunga setelah sebelumnya diperkirakan akan menurun.

"Naik turunnya rupiah terhadap dolar AS lebih disebabkan faktor teknikal, bukan faktor fundamental," ucapnya. 

Perry menambahkan risiko Brexit juga masih akan berlanjut, sehingga membuat dolar AS menguat meski mata uang Euro menguat akhir-akhir ini. Diketahui, kata Perry, Perdana Menteri (PM) baru Inggris Borris Johnson memang pro terhadap permasalahan Brexit.

Menurut Perry, hal tersebut tergantung negosiasi antara Inggris dengan Uni Eropa (UE). Jika terjadi Brexit atau no deal Brexit maka akan memakan waktu lama.

"Tentu kondisi di Inggris akan terkena akan menurun. Kalau menurun maka pound akan melemah lalu dolar AS akan menguat," ungkapnya.

Pada Juni 2019, nilai tukar rupiah menguat 1,04 persen secara point to point dibandingkan dengan level akhir Mei 2019, dan 1,13 persen secara rerata dibandingkan dengan level Mei 2019. Penguatan rupiah berlanjut pada Juli 2019, yakni 1,06 persen sampai 17 Juli 2019 secara point to point dibandingkan dengan level akhir Juni 2019. 

Penguatan tersebut didorong oleh menariknya imbal hasil investasi portofolio di aset keuangan domestik. Selain itu, persepsi positif terhadap prospek ekonomi Indonesia makin baik, termasuk pasca peningkatan sovereign rating Indonesia oleh Standard and Poor’s (S&P), serta berkurangnya ketidakpastian pasar keuangan global sejalan prakiraan kebijakan moneter global yang lebih longgar. 

Perkembangan positif ini kemudian mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing dan memperkuat rupiah. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar dan memperkuat pembiayaan domestik, Bank Indonesia terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik di pasar uang maupun valas.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement