REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah pertemuan darurat digelar di Wina, Austria. Pertemuan ini menjadi salah satu upaya agar kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tak sampai mati. Sebuah harapan untuk menyelamatkan kesepakatan bersejarah yang ditandatangani tahun 2015.
Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina--sebagai negara-negara yang masih berusaha menjaga JCPOA tetap berjalan--bertemu dengan Iran pada Ahad (28/7) waktu setempat. Mereka bertemu dalam kerangka Komisi Bersama JCPOA.
Pembahasan berkisar mengenai pemberlakuan isi kesepakatan di lapangan. Tahun lalu Amerika Serikat, yang pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama ikut menandatangani JCPOA, memutuskan keluar setelah Presiden Donald Trump menyatakan tak terikat lagi pada JCPOA.
Lalu, sanksi ekonomi pun dijatuhkan kembali atas Iran. Padahal, pencabutan sanksi ekonomi merupakan salah satu poin krusial dalam JCPOA. Sanksi dicabut dan Iran mengurangi aktivitas pengayaan uranium dan kegiatan di fasilitas reaktor nuklir air berat Arak.
Pada saat bersamaan, dalam pertemuan antara badan nuklir Iran dan parlemen Iran, Ahad (28/7), kantor berita //ISNA// mengungkapkan, pemerintahan Presiden Hassan Rouhani bakal menghidupkan lagi aktivitas di fasilitas reaktor nuklir air berat Arak.
Hal ini sesuai janji Rouhani. Pada 3 Juli, Rouhani menegaskan, Teheran bakal meningkatkan pengayaan uranium dan menghidupkan kembali fasilitas reaktor nuklir Arak jika pada 7 Juli negara-negara JCPOA masih belum mampu melepaskan Iran dari sanksi ekonomi AS.
Dalam konteks ini, tampaknya pengaktifan kembali Arak menjadi posisi tawar Iran dalam persamuhan darurat di Wina. Fasilitas ini bisa menghasilkan plutonium, bahan baku yang digunakan untuk membuat hulu ledak nuklir.
Memang, mau tak mau, Iran harus memiliki isu penting yang bisa dijadikan penentu tetap hidupnya JCPOA dan penghentian sanksi ekonomi terhadap mereka. Pasalnya, sanksi membuat beban ekonomi masyarakat Iran makin berat.
Minyak dan gas, di antara andalan pemasukan bagi ekonomi Iran, harus mempunyai pasar agar pemasukan untuk belanja rakyatnya lebih longgar. Selama ini Cina menjadi negara yang masih berani menjalin hubungan dagang dalam sektor ini.
Cina saat ini membutuhkan banyak pasokan bahan bakar, seiring perkembangan ekonomi mereka yang pesat. Di sisi lain, Cina menjadi lawan kuat AS dalam bidang perekonomian. Mereka berani menghadapi potensi sanksi AS.
Negara-negara lain, termasuk sekutu AS, diterpa kekhawatiran jika berhubungan dagang dengan Iran. Mereka khawatir terkena getahnya, berupa sanksi ekonomi seperti yang dialami Iran. Selain itu, perusahaan-perusahaan Uni Eropa berusaha menghindar dari sanksi.
Pertemuan darurat di Wina kita harap mampu melahirkan terobosan berarti terkait JCPOA ini. Artinya, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina diharapkan mampu merumuskan jalan keluar atas sanksi yang kini dihadapi Iran.
Dengan demikian, Iran bisa membuka kembali pasar perdagangannya dan membuat ekonominya tak limbung. Iran memperoleh kesempatan mendulang keuntungan dari penjualan komoditas andalan mereka.
Di sisi lain, Iran juga kembali ke kesepakatan semula, melakukan pengayaan uranium di tingkat yang disepakati. Dalam hal ini, Rusia dan Cina--yang selama ini kerap berseberangan dengan AS dalam serangkaian isu internasional--kemungkinan dapat diterka arahnya.
Maka, sebenarnya yang terpenting bagaimana sikap negara-negara anggota Uni Eropa (UE) seperti Prancis, Jerman, dan Inggris yang saat ini dalam proses keluar dari UE. Butuh keberanian dan ketegasan negara-negara tersebut untuk menentang sikap AS.
Karena itulah, lahirnya solusi yang saling menguntungkan akan mengantarkan Iran pada kesepakatan semula yang telah dipenuhi selama ini dan meredakan ketegangan di Selat Hormuz, yang menjadi lalu lintas kapal-kapal pembawa minyak.
(Tajuk Koran Republika Hari Ini)