REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Jamil menilai, Indonesia memerlukan panduan arah pembangunan nasional jangka panjang seperti garis-garis besar haluan negara (GBHN). Ini agar arah pembangunan nasional dapat berkelanjutan dan fokus.
"Menurut saya, Indonesia penting memiliki panduan arah pembangunan nasional jangka panjang yang mirip GBHN, tapi nanti namanya bukan GBHN," kata Nasir Jamil, di Jakarta, Jumat (9/8).
Menurut Nasir, kalau nanti namanya tetap GBHN, tentu akan ada implikasi ketatanegaraannya. Karena, kalau presiden menjalankan GBHN, lalu siapa yang mengawasi bahwa GBHN itu dijalankan atau tidak.
Dalam pandangan Nasir, kalau MPR RI yang mengawasi presiden dalam menjalankan GBHN, maka mau tidak mau presiden akan bertanggung jawab kepada MPR. "Karena itu perlu dicari nama lain, meskipun bentuknya mirip GBHN," katanya pula.
Anggota Komisi III DPR RI ini menjelaskan, setelah era reformasi dan setelah UUD 1945 diamendemen menjadi UUD NRI 1945, maka GBHN dihapuskan. Setelah era reformasi, kata dia, maka visi misi dan program dari presiden terpilih, kemudian dirumuskan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi rencana pembangunan jangka menengah (lima tahun) dan rencana pembangunan jangka pendek (satu tahun).
"Indonesia memerlukan panduan arah pembangunan negara untuk jangka panjang, misalnya untuk 50 tahun atau 25 tahun. Arah pembangunan nasional, memuat panduan arah pembangunan nasional di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, ideologi, dan sebagainya," katanya lagi.
Menurut dia, adanya panduan arah pembangunan nasional jangka panjang ini agar pembangunan nasional dapat berkelanjutan dan fokus. Jadi meskipun presidennya ganti, tapi arah pembangunan nasional tetap dilanjutkan.
Upaya untuk menghidupkan lagi panduan arah pembangunan nasional seperti GBHN, menurut Nasir, tidak cukup hanya diatur dalam undang-undang, karena itu perlu ada amandemen konstitusi.
Namun, sebelum UUD NRI diamendemen, Nasir mengusulkan agar seluruh fraksi di DPR RI dan pemerintah membuat kesepakatan bersama, pasal apa yang akan diubah atau ditambahkan. "Jangan sampai setelah proses amendemen berjalan, semua fraksi-faksi di DPR akan menyampaikan usulan masing-masing yang berbeda-beda. Nanti prosesnya menjadi liar," katanya lagi.