Kamis 22 Aug 2019 14:37 WIB

77.500 Gepeng Tersebar di Kota Besar

Populasi pengemis dan gelandangan naik saat hari raya.

Pengemis tidur di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pengemis tidur di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jalan Rasuna Said, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa menurut perkiraan pada 2019 masih ada sekitar 77.500 gelandangan dan pengemis yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia.

"Tapi jumlah ini tidak bisa dijadikan patokan karena agak sulit mendata populasi gepeng (gelandangan dan pengemis), apalagi ini naik pada saat hari-hari besar seperti hari raya," katanya di Jakarta, Kamis, usai membuka lokakarya nasional penanganan gelandangan dan pengemis dalam implementasi Peraturan Menteri Sosial No.9 Tahun 2018.

Baca Juga

Agus yakin jumlah gelandangan dan pengemis jauh lebih besar jika dibandingkan angka perkiraan mengingat pendataan pengemis dan gelandangan di lapangan kendalanya banyak.

Masalah gelandangan dan pengemis, menurut dia, merupakan masalah sistemik lintas daerah yang membutuhkan solusi cepat dan berkelanjutan.

Gelandangan dan pengemis, menurut dia, antara lain muncul akibat pembangunan yang tidak merata yang mendorong warga miskin di perdesaan dan daerah-daerah dengan perekonomian kurang baik mengadu peruntungan ke kota-kota besar.

"Cerita sukses pendatang ikut meramaikan persaingan pertumbuhan penduduk di perkotaan menjadi tidak seimbang antara ruang dan peluang pekerjaan," kata Menteri Sosial.

Pendatang yang tidak punya bekal pendidikan dan keterampilan memadai kesulitan menghadapi persaingan untuk mendapatkan pekerjaan dan sebagian akhirnya harus bergantung pada belas kasih orang lain.

"Masalah gepeng melahirkan masalah lain seperti kerawanan sosial, pelecehan seksual, eksploitasi anak. Kalau tidak ditangani akan menjadi masalah serius dan kompleks dan lebih sulit," kata Agus.

Dalam upaya mengurangi arus urbanisasi, dalam lima tahun terakhir pemerintah menggencarkan pembangunan infrastruktur.

"Tentu ini merupakan sebuah upaya agar sentra kegiatan ekonomi tidak lagi berpusat di kota besar. Ke depan infrastruktur yang sudah jadi akan dikoneksikan dengan kawasan ekonomi baik industri maupun pariwisata," kata Agus.

Namun, menurut dia, permasalahan gepeng bukan hanya berkaitan dengan faktor ekonomi tapi juga mentalitas, mengingat ada sebagian orang yang memang menjadikan mengemis sebagai profesi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement