REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Polisi Hong Kong pada Ahad (25/8) menyatakan, menangkap 29 orang setelah bentrokan semalam setelah gas air mata ditembakkan untuk membubarkan protes anti-pemerintah. Hong Kong terus bersiap untuk demonstrasi lebih lanjut.
Para aktivis pada Sabtu (24/8) melemparkan bom bensin dan batu bata ke daerah Kwun Tong, sebuah wilayah padat penduduk di wilayah China di sebelah timur semenanjung Kowloon. Empat stasiun kereta bawah tanah MTR telah ditutup karena protes.
Polisi menggunakan gas air mata setelah beberapa pemrotes melemparkan bom molotov, batu bata dan lainnya, terkena tiang lampu yang dilengkapi dengan kamera pengintai. Sementara yang lainnya memasang penghalang jalan dengan bambu.
Penggunaan gas air mata merupakan yang pertama dalam lebih dari sepekan, setelah serangkaian demonstrasi yang sebagian besar damai di Hong Kong.
Transportasi ke bandara internasional kota itu terlihat normal pada Ahad pagi. Meskipun para pemrotes berencana untuk melakukan gangguan selama sehari di transportasi di pusat penerbangan.
Protes lain telah direncanakan pada Ahad di distrik Tsuen Wan. Sementara itu demonstran juga merencanakan pemogokan di seluruh kota dan boikot kelas di universitas dalam beberapa pekan mendatang.
Polisi mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Ahad bahwa mereka mengutuk pengunjuk rasa yang melanggar perdamaian publik pada Sabtu, sementara 19 pria dan 10 wanita telah ditangkap. Laporan penyiar publik RTHK, mereka yang ditangkap juga termasuk penyelenggara pawai Sabtu, Ventus Lau.
Protes dimulai dengan Rancangan Undang Undang (RUU) ekstradisi yang sekarang ditangguhkan, dan kini telah berkembang menjadi tuntutan untuk demokrasi yang lebih besar. Aksi ini telah mengguncang Hong Kong selama tiga bulan. Tuntutan demonstran termasuk penyelidikan independen perihal yang mereka gambarkan sebagai kebrutalan polisi, penarikan penuh ekstradisi dan hak pilih universal.
Seruan yang lebih luas untuk demokrasi telah menjerumuskan kota ke dalam krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini merupakan tantangan langsung bagi para pemimpin Partai Komunis di Beijing.
Para pengunjuk rasa mengatakan mereka memerangi berkurangnya pengaturan satu negara, dua sistem bagi Hong Kong, sejak diserahkan kembali dari pemerintahan Inggris ke China pada 1997.
Sementara China pada Sabtu membebaskan seorang pekerja konsulat Inggris, Simon Cheng, yang penahanannya telah memicu ketegangan, dikutip dari Reuters, Ahad (25/8).