Jumat 03 Jul 2020 16:15 WIB

Pemerintah Hong Kong Larang Slogan Pro-Demokrasi

UU keamanan nasional Hong Kong membuat slogan pro-demokrasi dianggap kejahatan

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 Polisi menahan seorang pengunjuk rasa setelah disemprot dengan semprotan merica selama protes di Causeway Bay sebelum pawai serah terima tahunan di Hong Kong, Rabu, Juli. 1, 2020. Hong Kong menandai peringatan 23 tahun penyerahannya ke Cina pada tahun 1997, dan hanya satu hari setelah Cina memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang menindak protes di wilayah tersebut.
Foto: AP / Vincent Yu
Polisi menahan seorang pengunjuk rasa setelah disemprot dengan semprotan merica selama protes di Causeway Bay sebelum pawai serah terima tahunan di Hong Kong, Rabu, Juli. 1, 2020. Hong Kong menandai peringatan 23 tahun penyerahannya ke Cina pada tahun 1997, dan hanya satu hari setelah Cina memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang menindak protes di wilayah tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemerintah Kota Hong Kong mengatakan slogan unjuk rasa 'Bebaskan Hong Kong, revolusi di masa kami' berkonotasi separatisme atau subversi. Mereka menyinggung berdasarkan undang-undang keamanan yang baru hal itu dianggap sebagai kejahatan.

Seruan tersebut tidak hanya muncul di spanduk-spanduk unjuk rasa. Tapi juga dicetak di kaos, aksesoris, dan ditulis kertas-kertas yang ditempel di dinding-dinding kota yang dikuasai China itu.

Baca Juga

Belum diketahui apakah pengadilan independen akan mendukung pandangan pemerintah mengenai slogan tersebut. Hal itu meningkatkan kekhawatiran legislasi baru yang bertujuan menindak separatisme, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing menghancurkan kebebasan berekspresi di Hong Kong.

"Sekarang ini slogan 'Bebaskan Hong Kong, revolusi di masa kami' berkonotasi 'kemerdekaan Hong Kong' atau memisahkan Daerah Administrasi Khusus Hong Kong (HKSAR) dari Republik Rakyat China, mengubah status hukum HKSAR atau menentang kekuasaan negara," kata pemerintah Hong Kong dalam pernyataannya, Kamis (2/7) lalu.

Pemerintah pusat keuangan Asia itu berulang kali mengatakan undang-undang keamanan tidak akan berdampak pada hak kebebasan berbicara dan hak lainnya. Tapi pada Rabu (1/7) lalu, tepat 23 tahun Inggris menyerahkan Hong Kong ke China.  

Polisi Hong Kong menangkap sekitar 370 orang yang menggelar unjuk rasa menentang undang-undang itu. Sekitar 10 diantaranya dinyatakan melanggar legislasi tersebut.

Pihak yang mengkritik undang-undang keamanan menyerang lemahnya transparansi seputar hukum tersebut. Menurut mereka waktu antara publikasi dan diloloskan sangat cepat.

Beijing mempublikasikan undang-undang itu pada Selasa malam dan undang-undang sudah diloloskan pada hari Rabu. Undang-undang keamanan ini menghukum tersangka  separatisme, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing dipenjara seumur hidup.

Undang-undang itu juga untuk pertama kalinya mengizinkan untuk badan keamanan China Daratan berada di Hong Kong. Tersangka juga dapat diekstradisi ke China untuk diadili di pengadilan yang dikuasai Partai Komunis.

Parlemen China mengadopsi undang-undang keamanan dalam merespons protes tahun lalu. Unjuk rasa yang dipicu kekhawatiran aktivis demokrasi China semakin membungkam kebebasan dan mengancam independensi pengadilan kota mereka yang dijamin 'satu negara, dua sistem'. Beijing membantah tuduhan itu.

Undang-undang menjadi peringatan bagi aktivis demokrasi dan organisasi hak asasi manusia Hong Kong. Demosisto, kelompok yang dipimpin aktivis pro-demokrasi Joshua Wong dibubarkan beberapa jam setelah undang-undang keamanan diloloskan. Tokoh terkenal kelompok itu, Nathan Law mengatakan ia akan meninggalkan Hong Kong.

"Unjuk rasa di Hong Kong telah menjadi jendela dunia untuk menyadari China semakin otoritarian," kata Law. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement