Senin 26 Aug 2019 16:02 WIB

Kemenkeu Yakin Perang Dagang tak Berdampak pada Ekonomi RI

Dampak terbesar dari perang dagang dirasakan pada kinerja ekspor Indonesia.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Perang dagang AS dengan Cina
Foto: republika
Perang dagang AS dengan Cina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara menjelaskan, perkembangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China cukup membuat pasar internasional mengalami gejolak. Tapi, ia optimistis, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun masih berada di kisaran 5,1 hingga 5,2 persen.

Apabila China benar menaikkan tarif terhadap barang-barang dari AS yang kemudian akan dibalas lagi, maka perdagangan kedua negara akan turun. "Yang jual barang ke China turun, begitupun yang jual ke AS," tutur Suahasil dalam konferensi pers pemaparan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di kantornya, Jakarta, Senin (26/8).

Baca Juga

Jika kinerja perdagangan keduanya turun, kemungkinan besar akan mempengaruhi konsumsi di setiap negara. Sebab, hal ini berdampak pada bahan input yang dipakai di masing-masing negara. Dengan posisi AS dan China sebagai negara nomor satu dan dua dunia, maka yang terjadi adalah pertumbuhan setiap negara juga akan turun.

Untuk Indonesia sendiri, Suahasil mengatakan, dampak terbesar dari perang dagang dirasakan pada ekspor. Permintaan banyak negara terhadap komoditas dan produk jadi Indonesia akan menurun.

"Di seluruh dunia akan merasakan hal yang sama," ujarnya.

Tidak hanya dari sisi perdagangan, Suahasil menilai, penyesuaian kebijakan moneter berbagai negara juga akan terjadi. Baik dari segi suku bunga ataupun kurs seperti yang dilakukan China. Hal ini akan mempengaruhi posisi relatif Indonesia dalam konteks exchange rate.

Suahasil menyebutkan, tren tersebut yang terus diperhatikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam strategi ke depannya, pemerintah bersama industri harus betul-betul fokus memastikan sumber pertumbuhan domestik terus dijaga. Sebab, sumber pertumbuhan dari luar negeri yang tidak pasti membuat ekonomi Indonesia sangat volatile.

Sumber pertumbuhan domestik yang dimaksud Suahasil adalah konsumsi dalam negeri, investasi domestik dan belanja pemerintah. "Kami selalu mencari dan merumuskan agar APBN dapat membuat ketiganya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi kita yang sekarang di tingkat 5,05 persen," ucapnya.

Selain mendorong penerimaan negara dari sisi domestik, Suahasil menambahkan, pemerintah juga mengumpulkan insentif perpajakan yang kini mulai dilaporkan dalam belanja perpajakan. Keduanya akan terus dikombinasikan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,1 hingga 5,2 persen hingga akhir tahun.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, gejolak ekonomi global yang kini terus memanas masih menjadi tantangan terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Kondisi ekonomi dunia confirm melemah dan ini risikonya bahkan meningkat," ujarnya.

Sri menuturkan, kondisi tersebut muncul dalam berbagai statement kepala negara anggota G7 dan indikator sesudah eskalasi perang dagang pada Juli dan Agustus. Termasuk di antaranya eskalasi dari sisi perang dagang yang kemudian dispekulasikan akan merembet ke currency war.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement